Arogansi faham rasionalisme, telah lancang menempatkan segala yang bersifat suprarasional ke dalam keranjang sampah. Ia merupakan sarana bagi pandangan hidup sekular (secular worldview) untuk mengalienasi keimanan, sebagaimana yang diutarakan seorang peneliti, Bulend Senay dalam Another Introduction to Islam:
…”mitos kajian agama yang bebas dari nilai-nilai subyektif” (rasionalisme), sebagaimana juga akarnya, adalah sarana yang dilakukan pandangan hidup sekular (secular worldview) untuk menghapus atau menyelesaikan konflik yang terjadi antara dua tradisi yang begitu asasi: sekular (yang hanya tunduk pada supremasi akal) dan religius (yang tunduk, pertama, kepada supremasi iman, dan kedua, kepada akal).
Faham rasionalisme ini pula yang menempatkan kata mukjizat, ke dalam wilayah kosa kata yang berkonotasi irasional, sejajar dengan takhyul, sihir atau segala praktek perdukunan yang kekanak-kanakan lagi kampungan. Padahal mukjizat merupakan bentuk aktivitas nyata Tuhan di dunia, yang berfungsi sebagai sarana pembuktian (hujjah) akan eksistensi Tuhan kepada manusia, yang bersifat suprarasional (bukan irasional), tak dapat ditiru, dan tak terbantahkan.
Dengan demikian, mukjizat merupakan kebutuhan asasi manusia sebagai homo religius. Ia (mukjizat) dibutuhkan antara lain untuk memberikan “modal keimanan” pada manusia, agar selanjutnya manusia dapat merintis “ketaatan” (beribadah) pada Sang Khaliq. Hal itu terpapar jelas dari urutan rukun Islam, dimana rukun Islam pertama adalah syahadat yang melambangkan keimanan, baru diikuti oleh rukun lainnya (shalat, zakat, puasa Ramadhan, haji) yang seluruhnya melambangkan ketaatan. Dengan kata lain tak akan ada ketaatan tanpa keimanan. (Lihat misalnya Sa’id Hawwa, Al-Islam).
Selain itu mukjizat juga berfungsi untuk mengeluarkan manusia dari kecenderungan menganggap agama sekedar sebagai sebuah tradisi/kultur (efek agama warisan) –atau menggunakan terminologinya W.C. Smith, “commulative tradition”. Sebuah kecenderungan yang sangat berbahaya, dimana ia merupakan faktor internal penyebab meluasnya krisis religious disorientations yang melanda seluruh (agama) di dunia.
Tak dapat dipungkiri Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar dan utama. Kemukjizatannya abadi, se-abadi Al-Qur’an itu sendiri. Disaat sebagian mukjizat (mukjizat keserasian ajaran sebuah agama misalnya) dipandang sebagai hikmah yang dibuat-buat bagi sebagian orang, Al-Qur’an hadir menawarkan “mukjizat praktis” yang mudah difahami semua golongan manusia. Dan salah satu segi kemukjizatan Al-Qur’an adalah mukjizat pemeliharannya, sebagaimana firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Zikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Qs: Al-Hijr:9).
Kondisi dan karakter unik
Yang perlu diperhatikan dari Surah Al-Hijr di atas adalah, bahwa redaksinya menggunakan kata “kami” (jamak) sebagai kata ganti orang pertama, bukan kata “aku” (tunggal). Menurut para mufasir, adalah kebiasaan Al-Qur’an jika menggunakan kata “kami” maka hal itu menunjukkan bahwa Allah Swt. melibatkan oknum lain dalam sebuah peristiwa. Dimana dalam hal ini, Allah Swt. antara lain melibatkan generasi awal Islam, dengan menciptakan kondisi dan karakter unik pada mereka (juga pada Al-Qur’an itu sendiri), dengan tujuan pemeliharan Al-Qur’an. Kondisi dan karakter tersebut antara lain:
Pertama, masyarakat awal Islam yang menjadi objek pertama Al-Qur’an, dikondisikan-Nya sebagai masyarakat yang ummiy (tidak mampu membaca dan menulis). Sebagai konsekuensi logisnya, maka kemampuan menghafal mereka menjadi sangat baik, termasuk dalam menghafal Al-Qur’an. Kita dapat menyaksikan fenomena ‘mudah menghafal’ ini pada anak-anak kecil, yg belum mampu membaca.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Qs Al-Jumu’ah: 2)
Rasulullah menggambarkan keadaan ummiy umatnya dalam sebuah hadist, “Kita adalah umat yang ummiy, yang tidak (bisa) menghitung dan menulis. Dan bilangan bulan begini, begini dan begini.”(Muttafaq alaih dari Ibnu Umar).
Sementara Quraish Shihab mengatakan, “kemampuan tulis baca masyarakat Arab khususnya pada masa awal Islam sangat minim, sampai-sampai ada riwayat yang menyebut jumlah mereka yang pandai menulis ketika itu tidak lebih dari belasan orang” (Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, 2006).
Kedua, Al-Qur’an dijadikan-Nya sebagai sebuah kitab suci dengan cita rasa kesusastraan yang tak tertandingi, sangat indah, sehingga membuatnya lebih mudah untuk di hafal. Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Qs. Al- Kamar:17).
Keindahan Al-Qur’an bukan hanya diakui oleh umat Muslimin, tapi juga oleh non Muslim, sebagaimana pengakuan Gibb dalam Mohammedanism, “Tidak seorang pun dalam seribu limaratus tahun ini, telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti apa yang dilakukan Muhammad [melalui Al-Qur’an]…” (Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, 2006)
Selain itu sudah menjadi tabiat akal manusia, jika mendengar bacaan yang indah dan dianggap sangat penting, maka akal manusia akan menghafal seluruh detail yang dikandung bacaan tersebut, berikut substansinya. Berbeda dengan bacaan yang tidak indah tetapi dianggap penting, maka akal akan cenderung mengingat substansinya saja.
Karakter “indah” inilah yang tidak dimiliki oleh kitab suci kaum Yahudi, dan Nasrani. Sehingga (agaknya) wajar jika Al-Qur’an menyebut mereka dengan sebutan Ahlul kitab, yang dapat diartikan sebagai “bookies”, yaitu orang-orang yang “terpaksa” sangat mengandalkan kitab, karena begitu sulitnya menghafal kitab mereka. Kesulitan itu terungkap dalam sebuah penelitian yang dirilis harian The Sunday Times:
Pada tanggal 26 Januari 1997, harian The Sunday Times merilis hasil penelitian Rajeev Syal dan Cherry Norton tentang “sepuluh perintah Tuhan” yang terdapat dalam Bibel. Secara random dari dua ratus ribu anggota pastur Kristen Anglican, terungkap bahwa dua pertiganya tak mampu mengungkapkan isi kandungan sepuluh perintah Tuhan yang demikian penting tersebut. Dapat dibayangkan jika para pastur saja tak hafal, bagaimana dengan orang awamnya? (Lihal Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text, 2005).
Selain itu kegandrungan masyarakat periode awal Islam terhadap sastra, begitu bersesuaian dengan karakter indah dari Al-Qur’an, sehingga semakin menyemangati dan memudahkan mereka dalam menghafal Al-Qur’an. Ini dapat dilacak antara lain dari begitu banyaknya tokoh terhormat mereka yang berprofesi sebagai penyair (Lihat sirah-sirah Nabawiyah).
Ketiga, Al-Qur’an diturunkan bertahap sedikit demi sedikit dalam tempo 23 tahun, dan disyariatkan unyuk dibaca minimal setiap shalat lima waktu. Hal ini tentu saja semakin memudahkan generasi awal Islam untuk menghafal dan menyelami kandungannya. Selain itu kondisi tanah Arab yang “ter-abaikan”, justru menjadikan proses panjang pewahyuan tersebut “nyaris” tidak terganggu oleh kekuatan-kekuatan besar yang ada pada waktu itu. Mereka baru berkonfrontasi dengan Byzantium dan Persia setelah Ummah berhasil mencapai kemapanannya. Karen Armstrong memaparkan kondisi ter-abiakan tersebut:
“…Ketika Muhammad lahir di kota Mekkah sekitar tahun 570 M, tak satupun negara besar di wilayah itu memikirkan Arab…stepa-stepa Arab yang keras merupakan wilayah liar yang menakutkan, dihuni oleh ras manusia yang masih liar, yang oleh bangsa Yunani (Byzantium) disebut “sarakenoi”. Baik Persia maupun Byzantium (sebagi negeri adikuasa saat itu) tak pernah mempertimbangkan untuk menguasai wilayah ini (Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, 2004).
Ketika Yesus menyampaikan ajarannya di sebuah provinsi kerajaan Romawi (Yerusalem), Ia dihukum mati (menurut Bibel) oleh pemerintah Romawi atas permintaan masyarakat Yahudi. Dengan kata lain jika proses pewahyuan Al-Qur’an yang memakan waktu lebih kurang 23 tahun itu terjadi bukan di tanah Arab yang diabaikan oleh kekuatan-kekuatan besar pada waktu itu, maka proses panjang pewahyuan (mungkin) akan terganggu bahkan terputus.
Keempat, tradisi shalat berjemaah di masjid, merupakan sebuah sistem kontrol yang efektif terhadap bacaan dan hafalan Al-Qur’an kaum Muslimin, dimana pada shalat subuh, maghrib, isya, shalat jum’at, tarawih, Idul fitri dan Idul Adha, bacaan imam dikeraskan (jahr). Sedangkan syarat utama menjadi imam adalah: “Orang yang menjadi imam dalam shalat adalah orang yang paling pandai membaca (menguasai) kitab Allah (Al-Qur’an). Jika dalam bacaan mereka sama, maka yang menjadi imam adalah orang yang paling mengetahui as-Sunnah…” (HR. Muslim dan Ashhabus Sunnan).
Secara syari’i, makmum memang diberi kewenangan untuk mengoreksi apabila imam melakukan kekeliruan. Dan semasa hidupnya, Rasulullah sendirilah yang mengimami shalat jamaah kaum Muslimin. Sedangkan untuk memelihara hafalan Rasulullah Saw., maka secara konstan Malaikat Jibril berkunjung kepada beliau setiap tahun.
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad berjumpa dengan Malaikat Jibril setiap malam pada bulan Ramadhan hingga akhir bulan, masing-masing membaca Al-Qur’an silih berganti.(HR Bukhari). Abu Huraira meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril membaca Al-Qur’an bergantian tiap tahun, hanya pada tahun kematiannya mereka membaca bergantian dua kali.(HR Bukhari). Rasulullah, Zaid bin Thabit, dan Ubayy bin ka’b membaca secara bergiliran setelah sesi terakhir dengan Malaikat Jibril. (A.Jeffry (e.d), Muqaddimatan, hal:227). Rasulullah juga membaca di depan Ubay dua kali dalam tahun kematiannya. (A.Jeffry (e.d), Muqaddimatan; Juga Tahir Al- Jaza’iri, at Tibyan)
Kelima, masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur’an adalah masyarakat yang sederhana dan bersahaja, kontras dengan keadaan masyarakat adikuasa Byzantium dan Persia, sehingga memiliki banyak waktu luang untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an. Selain itu kesederhanaan pola fikir mereka membuat mereka tidak berkecenderungan untuk menambah atau mengurangi wahyu yang mereka hafal.
Seluruh kondisi dan karakter yang didikondisikan Allah SWT. di atas, merupakan bentuk pemeliharaan Al-Qur’an dari jalur hafalan. Sehingga wajar jika Rasulullah Saw. berkata “injil mereka (umat Islam) ada dalam hati mereka. Mereka membacanya dengan lancar.” (Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Al-Ashbahani,Dalail An-Nubuwah). Dan tentu saja hal itu dapat dipandang sebagai mukjizat, karena mustahil seorang Muhammad, atau siapapun dapat melakukan rekayasa yang demikian.
Satu hal yang perlu kita garis bawahi adalah, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dan yang menjadi objeknya pada saat itu adalah masyarakat Arab. Oleh karena itu kondisi dan karakter di atas tentunya sangat-sangat membantu mereka (masyarakat Arab) dalam menghafal dan memelihara Al-Qur’an. Berbeda jika kondisi dan karakter unik di atas diterapkan pada masyarakat yang berbahasa Indonesia misalnya, maka pengaruhnya tak akan terlalu signifikan.
Faktor penguat
Selain itu, begitu banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. menganjurkan para sahabatnya untuk mempelajari (termasuk menghafal) Al-Qur’an. Antara lain hadist yang diriwayatkan Uthman bin Affan Ra., dimana Rasulullah bersabda, “Yang terbaik diantara kamu sekalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an kemudian mengajarkannya pada orang lain” (HR. Bukhari). Ibn Umar meriwayatkan, “Kecemburuan hanya dibenarkan dalam dua hal: Seseorang yang telah menerima ilmu Al-Qur’an dan membacanya siang dan malam hari, dan orang yang diberi karunia kekayaan Allah serta membantu orang lain dimalam dan siang hari.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)
Sehingga tidak mengherankan jika banyak dari golongan sahabat pada saat itu yang hafal Al-Qur’an. Hal itu tercatat dalam banyak riwayat, salah satunya adalah dari jumlah para penghafal Al-Qur’an yang syahid dalam peperangan Yamamah (tidak lama setelah wafatnya Rasulullah) sejumlah tujuh puluh orang.(Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-’Irfan i ‘Ulum Al-Qur’an).
Mekanisme public control
Salah satu aspek penting yang patut dicatat adalah, bahwa setiap kali Al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah Saw. maka beliau langsung mempublikasikan wahyu yang baru diturunkan tersebut. Pertama, dengan cara memanggil para sahabat untuk mendengar, menghafal dan (sebagian) mencatat. Kedua, dengan membaca wahyu tersebut sebagai bacaan dalam shalat berjamaah, subuh, maghrib, isya, shalat jum’at, Tarawih, Idul fitri dan Idul Adha, dimana bacaan Rasulullah Saw. (sebagai imam) dikeraskan (jahr).
Publikasi yang demikian menjadikan Al-Qur’an sebagai “milik publik”, dalam hal ini milik umat Islam, sehingga terciptalah proses saling kontrol (public control) dalam tubuh umat Islam (mutawatir), yang menutup kemungkinan terjadinya pemalsuan Al-Qur’an.
Di era kontemporer ini, peran public control dimainkan terutama oleh media massa, dan terbukti sangat efektif dalam menjaga fakta-fakta, hak kekayaan intelektual, dan sebagainya. Sebagai contoh, sebuah lagu yang dirilis ke publik oleh seorang seniman, maka lagu tersebut dengan sendirinya akan terpelihara dari usaha-usaha penipuan, penjiplakan dan sebagainya, karena publik telah tahu (lewat media massa), bagaimana dan siapa pemilik asli lagu tersebut.
Mekanisme public control ini pulalah yang tidak dimiliki oleh generasi awal Kristen dan Yahudi (juga agama lainnya), yang berakibat pada gagalnya Bibel mempertahankan argumen keotentikannya ditangan zaman. (Lihat misalnya Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text, 2005). Sehingga Richard Elliot Friedman dalam Who Wrote Bible misalnya, mengatakan the five books of Moses (bagian dari perjanjian lama dalam Bible), it is one of the oldest puzzles in the world (teka-teki paling tua di dunia).
Dimasa Khalifah Uthman bin Affan Ra., kompilasi resmi Al-Qur’an (Mushaf Uthmani) dirilis, yang merupakan bentuk resmi pemeliharaan Al-Qur’an dari jalur teks. Dengan sistem penerbitan yang otoritatif, maka mekanisme public control ini pun menjadi semakin solid, yang pada akhirnya terbukti mampu memelihara Al-Qur’an hingga hari ini, bahkan hingga hari kiamat kelak
Semuanya (pemeliharaan Al-Qur’an) terjadi atas kehendak, kebijaksanaan dan kebesaran Allah Swt., dan pengejawantahan dari janji-Nya yang tak berhingga nilainya, “Inna nahnu nazzalna al-zikra, wa inna lahu lahafidun” (Qs.Al-Hijr:9), sebagai bagian dari kesempurnaan Islam sebagai agama: “Al yauma a’maltu lakum dinakum” (Qs. Al-Maidah: 3)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar