Dalam perspektif globalisasi, keterbukaan menjadi syarat untuk memasuki apa yang disebut modernisasi. Stabilitas pun menjadi tujuannya, sehingga dibutuhkan suatu cara untuk meminimalisir konflik bahkan kalau bisa menghilangkan. Maka pluralisme pun hadir menjadi obat bagi momok globalisasi tersebut.
Agama, sebagai faktor terbesar konflik menjadi perhatian tersendiri bagi globalisasi. Dialog-dialog interfaith pun digalakan untuk menjembatani perbedaan. Namun dialog yang dibangun disini bukanlah untuk menciptakan suasana saling menghormati atau toleransi. Lebih jauh dari itu, ia datang untuk mengglobalkan agama dan membuat agama baru yang disebut Teologi Global (John Hick) atau World Theology (W.C Smith). Ia mengambil kesamaan-kesamaan dalam pandangan agama dan membuang ajaran-ajaran yang menjurus kepada perbedaan. Salah satunya adalah Tuhan. Karena masing-masing agama percaya akan adanya Tuhan maka Tuhan perlu diglobalkan. Toh,…esensi dari ajaran setiap agama adalah sama yakni menyembah Tuhan, hanya caranya saja yang berbeda. Akhirnya Tuhan-Tuhan dalam agama-agama itu pun berubah nama menjadi “The One”.
Bagi pendukung teori ini, munculnya agama-agama disebabkan oleh faktor-faktor yang tak ada hubungannya dengan benar atau salah. Namun lebih cenderung disebabkan oleh adat istiadat, kekuasaan politik, kepentingan serta kecenderungan pribadi dan budaya masyarakat setempat. Oleh sebab itu, berbicara masalah adanya barbagai macam agama hanya dapat dijelaskan melalui sosiologi, anthropologi dan psikologi.
Bagi W.C Smith, agama-agama itu seperti planet-planet yang punya hukum gerak dan gravitasi yang sama (mengadopsi teori Newton). bila hukum-hukum alam ini tidak hanya berlaku pada planet bumi saja maka hukum-hukum agama itu juga berlaku untuk semua agama. Sedang John Hick, ia berasumsi dengan menggunakan teori Copernicus, jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan, dalam bahasa lain Hick memindahkan keberagamaan dari individu kepada Realitas Mutlak. Namun baik Smith maupun Hick sama-sama yakin bahwa agama-agama yang ada ini suatu saat akan berevolusi dan saling mendekati hingga nantinya tidak ada perbedaan lagi antara agama yang satu dengan yang lain.
Di lain sisi, Teologi Global ini banyak menuai kritik dari para filosuf dan teolog yang anti globalisasi dan modernisasi. Bagi mereka, agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosiogis ataupun historis dan tidak bisa pula dihilangkan identitasnya. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama (René Guénon). Dengan semangat inilah lalu para pendukung teori ini membuat gagasan baru untuk menyatukan semua agama dalam satu teori yang mereka sebut sebagai Hikmah Abadi atau Sophia Perrenis (Lebih jelasnya lihat karya-karya F. Schuon).
Bagi para pendukung teori ini, mereka berusaha untuk mempertahankan tradisi yang ada pada agama-agama. Mereka berasumsi bahwa tradisi-tradisi sakral dalam agama-agama perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Banyak jalan menuju Tuhan dan semuanya agama adalah jalan keselamatan, begitu resep mereka (Esensialisme). Lebih lanjut lagi, muncul ide sinkretisme, yakni mengambil unsur-unsur yang disepakati dalam agama-agama dan membuang yang masih diperdebatkan maka jadilah agama gado-gado, Peter L Berger menyebutnya “Patchwork Religion”.
Pada dataran praksis, memang sepintas terlihat para pendukung teori ini sangat membela agama-agama dan anti Barat. Namun pada dataran filosofis, baik yang pendukung teologi global maupun yang anti (Sophia Perrenis) adalah sama saja. Sebab, didalam keduanya terdapat senyawa Agnotisisme, yakni suatu paham yang menyatakan bahwa kebenaran hanya dapat didekati dan mustahil ditemukan. Tidak bisa dipungkiri juga, kedua teori itu sama-sama lahir dari pengalaman-pengalaman traumatik manusia Barat terhadap Agama. Kacamata yang dipakai dalam melihat agama-agama tersebut pun otomatis memakai kacamata problema Barat terhadap Tuhan.
Sesungguhnya pun pandangan-pandangan mengenai Tuhan baik dari “mazhab” Teologi Global maupun Hikmah Abadi yang menyamakan definisi Tuhan baik secara ontologis dan epistemologis merupakan asumsi yang salah kaprah. Jika kita mau melihat dengan jujur mengenai definisi Tuhan ini dalam agama-agama yang ada di dunia ini, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya definisi Tuhan itu secara faktual berbeda-beda
Konsepsi Tuhan dalam Islam misalnya, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik. Ia tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat. Bila ditemukan satu indikasi kesamaan pun antara konsep Tuhan dalam Islam dengan konsep Tuhan agama atau kepercayaan lain, tidak bisa serta merta di klaim sebagai sebuah kesamaan dan bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama yakni Tuhan yang Universal. Sebab masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi-konsepsi tersebut merupakan suatu keseluruhan, atau super sistem, yang tidak sama antara satu dengan yang lain.
Akhirnya, semua paham tersebut diatas sesungguhnya lebih merupakan pendangkalan ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan. Sebab, alih-alih Pluralisme bertujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan itu namun ujungnya sesungguhnya malah “membunuh” pluralitas itu sendiri, dengan memaksakan semua agama agar tunduk pada nilai-nilai yang dianut dalam nilai filsafat Pluralisme ala Barat.
Wallaahu'alam..
Agama, sebagai faktor terbesar konflik menjadi perhatian tersendiri bagi globalisasi. Dialog-dialog interfaith pun digalakan untuk menjembatani perbedaan. Namun dialog yang dibangun disini bukanlah untuk menciptakan suasana saling menghormati atau toleransi. Lebih jauh dari itu, ia datang untuk mengglobalkan agama dan membuat agama baru yang disebut Teologi Global (John Hick) atau World Theology (W.C Smith). Ia mengambil kesamaan-kesamaan dalam pandangan agama dan membuang ajaran-ajaran yang menjurus kepada perbedaan. Salah satunya adalah Tuhan. Karena masing-masing agama percaya akan adanya Tuhan maka Tuhan perlu diglobalkan. Toh,…esensi dari ajaran setiap agama adalah sama yakni menyembah Tuhan, hanya caranya saja yang berbeda. Akhirnya Tuhan-Tuhan dalam agama-agama itu pun berubah nama menjadi “The One”.
Bagi pendukung teori ini, munculnya agama-agama disebabkan oleh faktor-faktor yang tak ada hubungannya dengan benar atau salah. Namun lebih cenderung disebabkan oleh adat istiadat, kekuasaan politik, kepentingan serta kecenderungan pribadi dan budaya masyarakat setempat. Oleh sebab itu, berbicara masalah adanya barbagai macam agama hanya dapat dijelaskan melalui sosiologi, anthropologi dan psikologi.
Bagi W.C Smith, agama-agama itu seperti planet-planet yang punya hukum gerak dan gravitasi yang sama (mengadopsi teori Newton). bila hukum-hukum alam ini tidak hanya berlaku pada planet bumi saja maka hukum-hukum agama itu juga berlaku untuk semua agama. Sedang John Hick, ia berasumsi dengan menggunakan teori Copernicus, jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan, dalam bahasa lain Hick memindahkan keberagamaan dari individu kepada Realitas Mutlak. Namun baik Smith maupun Hick sama-sama yakin bahwa agama-agama yang ada ini suatu saat akan berevolusi dan saling mendekati hingga nantinya tidak ada perbedaan lagi antara agama yang satu dengan yang lain.
Di lain sisi, Teologi Global ini banyak menuai kritik dari para filosuf dan teolog yang anti globalisasi dan modernisasi. Bagi mereka, agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosiogis ataupun historis dan tidak bisa pula dihilangkan identitasnya. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama (René Guénon). Dengan semangat inilah lalu para pendukung teori ini membuat gagasan baru untuk menyatukan semua agama dalam satu teori yang mereka sebut sebagai Hikmah Abadi atau Sophia Perrenis (Lebih jelasnya lihat karya-karya F. Schuon).
Bagi para pendukung teori ini, mereka berusaha untuk mempertahankan tradisi yang ada pada agama-agama. Mereka berasumsi bahwa tradisi-tradisi sakral dalam agama-agama perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Banyak jalan menuju Tuhan dan semuanya agama adalah jalan keselamatan, begitu resep mereka (Esensialisme). Lebih lanjut lagi, muncul ide sinkretisme, yakni mengambil unsur-unsur yang disepakati dalam agama-agama dan membuang yang masih diperdebatkan maka jadilah agama gado-gado, Peter L Berger menyebutnya “Patchwork Religion”.
Pada dataran praksis, memang sepintas terlihat para pendukung teori ini sangat membela agama-agama dan anti Barat. Namun pada dataran filosofis, baik yang pendukung teologi global maupun yang anti (Sophia Perrenis) adalah sama saja. Sebab, didalam keduanya terdapat senyawa Agnotisisme, yakni suatu paham yang menyatakan bahwa kebenaran hanya dapat didekati dan mustahil ditemukan. Tidak bisa dipungkiri juga, kedua teori itu sama-sama lahir dari pengalaman-pengalaman traumatik manusia Barat terhadap Agama. Kacamata yang dipakai dalam melihat agama-agama tersebut pun otomatis memakai kacamata problema Barat terhadap Tuhan.
Sesungguhnya pun pandangan-pandangan mengenai Tuhan baik dari “mazhab” Teologi Global maupun Hikmah Abadi yang menyamakan definisi Tuhan baik secara ontologis dan epistemologis merupakan asumsi yang salah kaprah. Jika kita mau melihat dengan jujur mengenai definisi Tuhan ini dalam agama-agama yang ada di dunia ini, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya definisi Tuhan itu secara faktual berbeda-beda
Konsepsi Tuhan dalam Islam misalnya, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik. Ia tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat. Bila ditemukan satu indikasi kesamaan pun antara konsep Tuhan dalam Islam dengan konsep Tuhan agama atau kepercayaan lain, tidak bisa serta merta di klaim sebagai sebuah kesamaan dan bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama yakni Tuhan yang Universal. Sebab masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi-konsepsi tersebut merupakan suatu keseluruhan, atau super sistem, yang tidak sama antara satu dengan yang lain.
Akhirnya, semua paham tersebut diatas sesungguhnya lebih merupakan pendangkalan ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan. Sebab, alih-alih Pluralisme bertujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan itu namun ujungnya sesungguhnya malah “membunuh” pluralitas itu sendiri, dengan memaksakan semua agama agar tunduk pada nilai-nilai yang dianut dalam nilai filsafat Pluralisme ala Barat.
Al-Qur`an dalam berbagai ayat secara eksplisit menafikan pluralisme “Sesungguhnya agama (yang di ridhoi) disisi Allah hanyalah Islam.” [16] dan “Barang siapa mencari agama selain agama Islam,maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya,dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [17]
Kita sebagai kaum muslimin dalam setiap harinya berkali-kali memohon kepada Tuhan agar senantiasa diberi petunjuk kepada jalan yang lurus:“Tunjukilah kami jalan yang lurus”(Q.S.Al Fatihah:6) yaitu jalan orang-orang yang mendapat hidayah dimana Tuhan senantiasa memberikan inayah kepada mereka:“Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka;…”(Q.S.Al Fatihah:7) Akan tetapi terdapat pula kelompok kedua dimana mereka menemukan jalan namun tidak menerimanya:“…Bukan (jalan) mereka yang dimurkai…”(Q.S.Al Fatihah:7) dan kelompok ketiga yang tak menemukan jalan serta kebingungan:“Dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”(Q.S.Al Fatihah:7). Jabir bin Abdullah Ansari menukilkan : Saya duduk didekat Rasulullah SAAW dimana beliau dengan jari telunjuknya membuat garis lurus dan kemudian menarik dua garis lagi disebelah kiri dan kanannya lalu beliau meletakkan tangannya yang berkah pada garis tengah dan bersabda: “Inilah jalan Allah” dan pada saat itu beliau membacakan ayat ini : “Dan bahwa (yang Aku perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,maka ikutilah dia;dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan(yang lain),karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” [18]
Selain dari pada apa yang telah dikemukan diatas,dalam banyak ayat shirot atau jalan telah didefenisikan dimana defenisi tersebut tidak sesuai dengan kepercayaan adanya jalan-jalan[lebih dari satu jalan,penj.] yang lurus : “Dan bahwa (yang Aku perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,maka ikutilah dia”,“…menunjuki(manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” dan ayat-ayat serta riwayat-riwayat lainnya yang mengajak kaum musyrikin khususnya para ahlul kitab kepada Islam,tidak sesuai dengan pluralisme :“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.Katakanlah;sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk(yang benar).Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu ,maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” [19] demikian pula ayat “Hai ahli kitab,mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah? Padahal kamu mengetahui(kebenarannya)” [20]
Terdapat banyak ayat yang mengatakan bahwa pesan atau perkataan Al-Qur`an Al-Karim adalah diperuntukkan bagi seluruh masyarakat dan memperkenalkan agama Islam sebagai agama yang abadi : “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Fuqan(Al-Qur`an) kepada hamba-Nya,agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” [21] dan“Katakanlah,Hai manusia,sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,…” [22]
Panggilan “Yaa… ayyuhannas” dalam ayat diatas serta panggilan-panggilan serupa yang terdapat dalam banyak tempat dalam Al-Qur`an yang memposisikan manusia sebagai pendengarnya,menunjukkan salah satu diantara kekhususan-kekhususan Al-Qur`an yang membedakannya dari kitab-kitab suci yang lain.Al-Qur`an Al-Karim adalah satu-satunya kitab yang menjadikan manusia sebagai audiensnya dan kekhususan ini menyebabkan Al-Qur`an dalam kebuntuan-kebuntuan epistemik manusia dizaman sekarang berubah menjadi sumber pengetahuan(ma`rifat) asli manusia.
Meskipun dalam agama-agama lain juga terdapat kitab-kitab suci,namun tak satu pun dari kitab-kitab tersebut menjadikan manusia sebagai audiensnya,apabila kita memperhatikan secara khusus kitab suci umat kristiani,kitab tersebut adalah sekumpulan catatan-catatan sejarah kehidupan para nabi yang dilaporkan oleh beberapa orang dan oleh sebab itu dalam keseluruhan isi kitab suci ini,panggilan “Yaa… ayyuhannas” atau “Yaa… ayyuhal insan”sebagaimana yang terlihat dalam Al-Qur`an Al-karim tidak kita temukan,sebagai contoh dalam Injil Lukas dimulai seperti ini : “Dengan alasan bahwa sangat banyak yang mengulurkan tangannya kearah penulisan(penyusunan) hikayat suatu urusan yang bagi kami telah tersempurnakan,saya pun melihat maslahat bahwa semuanya itu dari awal secara tertib kutulis untukmu wahai Tiplus yang terhormat”
Kalimat-kalimat diatas secara jelas menunjukkan situasi atau keadaan yang menguasai kitab suci kristen serta perbedaan mendasarnya dengan Al-Qur`an Al-Karim.Perbedaan ini terlihat dalam satu per satu ayat-ayat dari kedua kitab tersebut,sebagai salah satu contoh yang cukup jelas,ayat-ayat dari Injil Lukas diatas dapat kita bandingkan dengan ayat Al-Qur`an dibawah ini : “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk manusia dengan membawa kebenaran;siapa yang mendapat petunjuk,maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri;dan siapa yang sesat,maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri,dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” [23]
Ayat-ayat lain mengatakan bahwa pengingkaran terhadap Rasulullah SAWW adalah juga bentuk pengingkaran terhadap nabi-nabi yang lain.Dan ini benar-benar sangat bertentangan dengan pluralisme : “Jika mereka mendustakan kamu,maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan(pula),…” [24]. Dan adapula ayat yang mengkhususkan atau membatasi kebenaran hanya pada agama Islam dan memperkenalkan orang-orang yang berkeyakinan dengan agama-agama lainnya sebagai orang-orang yang merugi:“Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam,maka sekali-kali tidaklah akan diterima(agama itu) darinya,dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [25] ayat ini tidak sesuai dengan pluralime agama.Ustad Syahid Muthahhari dalam menjelaskan ayat ini menulis : “Jika dikatakan bahwa maksud dari pada Islam tidak terkhusus pada agama kita tetapi yang dimaksudkan adalah ketasliman(ketaatan) pada Tuhan,maka jawabannya adalah bahwa sesunggunya Islam adalah taslim itu sendiri dan agama Islam yakni agama taslim.Akan tetapi hakikat taslim dalam setiap zaman mempunyai bentuk tersendiri,dan pada zaman ini bentuknya adalah suatu agama yang sangat kaya dan berharga yang dimunculkan melalui tangan penutup para Nabi SAWW dan tentunya kata Islam bersesuaian dengannya dan cukup…’ dengan kata lain,prasyarat ketaatan atau ketasliman pada Tuhan adalah penerimaan atas perintah-perintah-Nya,dan sangat jelas bahwa perintah terakhir Tuhan itulah yang selalunya mesti dijalankan dan perintah paling akhir dari Tuhan adalah sesuatu yang dibawa oleh rasul-Nya yang terakhir.” [26]
JAWABAN ATAS BEBERAPA PERTANYAAN
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan mengkaji beberapa subhat(keraguan) penting yang telah diajukan dalam upaya membenarkan atau menguatkan pluralisme.
A.Jika hanya ada satu agama yang benar[agama yang hakiki],maka dengan dalil apa setelah melewati berabad-abad lamanya hingga saat ini,tak satupun agama yang tampak lebih dominan dari agama-agama lainnya? Dengan kata lain,kita menyaksikan adanya kesamaan dalil-dalil diantara agama-agama dimana hal itu telah menyebabkan tetap terjaganya kejamakan atau pluralitas agama disepanjang sejarah.Hal ini menunjukkan bahwa agama-agama ditinjau dari segi kebenarannya berada dalam suatu kondisi yang sama.
Jawab:Kesamaan dalil-dalil menurut tinjauan logika tidak menunjukkan benarnya seluruh klaim atau dakwaan-dakwaan yang ada.sebagai contoh,Islam dan Kristen mempunyai perbedaan-perbedaan dalam banyak kejadian-kejadian sejarah(realitas historis).Kristen mengatakan bahwa yang menjadi qurban nabi Ibrahim as. adalah Ishaq sementara kaum muslimin menyakini bahwa yang menjadi qurbannya adalah Ismail,dari sudut pandang luar,keduanya berpegang teguh pada teks-teks agama mereka sehingga dengan demikian tak satu pun diantara mereka yang meninggalkan kepercayaannya,akan tetapi realitas sejarah hanya membenarkan salah satu dari kedua klaim tersebut dan keduanya tidak dapat dinyatakan benar.Hanya saja,dengan adanya tinjauan kesejarahan dalam contoh ini maka tidak mungkin untuk dapat menerapkan argumentasi rasional,tetapi dalam masalah-masalah seperti tauhid atau kemustahilan penitisan bagi wujud tak terbatas dapat ditunjukkan dalil-dalil yang besifat pasti(yakini) dan dalam menjelaskan sebab ketidak penerimaan mereka terhadap dalil-dalil yang besifat pasti atau yakini,kita mesti merujukkannya pada penjelasan-penjelasan psykologis dan sosiologis.Jika kita mencermati secara teliti sejarah kebenaran(hakikat),akan terlihat bahwa ketertarikan pada hakikat serta upaya untuk menghindarinya senantiasa mendominasi kehidupan individu dan sosial manusia dan hal ini semakin menambah nilai pentingnya teosentrisme.
B.Bahwa hanya kelompok khusus saja yang mendapatkan hidayah adalah tidak sesuai dengan hidayah umum Tuhan.Sifat Hadi adalah diantara sifat-sifat Ilahi dan mengandungi makna hidayah bagi keseluruhan manusia.
Jawab:Jika kita ingin memberikan jawaban kontra terhadap subhat ini,kita katakan bahwa Tuhan pun adalah Maha pemberi rezki,maka seharusnya tak satu pun manusia atau binatang yang kelaparan sementara kondisinya tidak demikian.Ini menunjukkan bahwa ke-mahahidayah-an Tuhan tidak selalu bermakna bahwa manusia akan memilih jalan hidayah,bahkan ke-Hadi-an Tuhan hanya mengisyaratkan makna bahwa Tuhan senantiasa menunjukkan jalan,dan dalam makna ini tidak ada keraguan dalam hidayah umum Tuhan.
C.Bagaimana mungkin dapat diterima bahwa diantara seluruh orang-orang sholeh didunia yang jumlahnya mencapai milliyaran orang,hanya segolongan kecil syi`ah yang akan memperoleh keselamatan.
Jawab:Hakikat(kebenaran) adalah sesuatu yang diluar dan berhubungan dengan realitas.Realitas tidak akan pernah mengikuti kepercayaan-kepercayaan manusia,bahkan ketika seluruh manusia memiliki kepercayaan yang bertentangan dengan realitas,maka hakikat tidak akan penah berubah atau berganti.Bukankah dahulu selama berabad-abad manusia meyakini bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi.
Meskipun demikian,tidaklah benar bahwa hanya orang-orang syi`ah yang memperoleh keselamatan.Sebelum kedatangan Islam para penganut agama-agama yang lain adalah juga pemilik kebenaran.Pasca kedatangan Islam pun,setiap penentang bukanlah ahli keburukan atau orang yang celaka,bahkan kecelakaan dan nasib buruk selalu beriringan dengan kesalahan atau kelalaian(taqshir) dan menurut pandangan para filosof sepeti Ibnu Sina dan Shadrul Muta`allihin(Mulla Shadra),kebanyakan orang-orang yang tidak mengakui hakikat atau kebenaran adalah lemah(qashir),bukan lalai atau bersalah(muqashir) dan perlu diketahui pula bahwa kebahagian dan nasib buruk memiliki derajat dan tingkatan-tingkatan.[27]
Pluralisme bagi pendukungnya memberikan paedah-paedah seperti kehidupan yang lebih utuh dan selamat,terciptanya kesepahaman antara agama-agama,ternafikannya kekerasan dan fanatisme dsb…,akan tetapi perlu diketahui bahwa kegunaan dan paedah-paedah tidaklah bermakna benar dan shahih.Dari sisi lain kegunaan atau fungsi-fungsi seperti ini dalam pandangan-pandangan yang non-pluralis pun dapat ditemukan dan tidak hanya terkhususkan pada pluralisme.Kita bisa hidup dalam damai dan toleransi dengan penganut agama-agama yang lain dan dalam keadaan ini tetap berpijak pada kebenaran agama tertentu.
Dalam kaitan ini,kita mesti memperhatikan pula kegunaan atau fungsi-fungsi negatif pluralisme.Untuk tercapainya kemufaqatan antara agama-agama,pluralisme memandang tidak perlu untuk memperhatikan seluruh aspek-aspek penting agama dan telah mempersempit atau memperkecil agama sebatas pencarian hakikat atau pengalaman keagamaan,sementara agama-agama juga mempunyai aturan-aturan atau hukum-hukum amaliyah,kemasyarakatan dan etika yang penting.Sesungguhnya dengan menganggab tidak penting adanya pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan aqidah akan mengancam kekuatan amaliyah dan dimensi keimanan agama-agama.Demikian pula,dalam pandangan ini tidak ada ikhtiyar untuk memperhatikan pandangan-pandangan yang bersifat eksklusif dari agama-agama dan juga pada pandangan orang-orang mukmin sendiri tentang kebenaran agamanya.[]
Wallaahu'alam..
Kalau masnya mendukung pluralisme?
BalasHapusSaya tertarik dengan bahasan ttg pluralisme agama :-)