.
Sedangkan postmodernisme, adalah gerakan yang mengritik modernisme yang elitis menjadi populis. Hasilnya adalah paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, persamaan, pluralisme, dan umumnya anti-worldview. Meski begitu, postmodernisme masih dianggap kelanjutan modernisme. Keduanya membawa konsep-konsep penting dengan kendaraan globalisasi.
Barat sejatinya adalah peradaban. Dan matrik setiap peradaban adalah worldview, cara pandang terhadap segala sesuatu (Peter Berger), agama atau kepercayaan (S Huntington). Dalam worldview ini terdapat konsep-konsep penting yang membentuk sebuah framework berpikir. Setiap peradaban memiliki worldview sendiri-sendiri. Fukuyama mengakui worldview Islam bertentangan dengan worldview Barat liberal.
Pengaruh Barat dalam pemikiran Islam dapat dilihat dari model pembaruan pemikiran keagamaan Islam atau tajdid. Pembaruan sering diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara etimologis maupun konseptual. Malangnya, perbedaan ini tidak dicermati, dan konsep-konsep di dalamnya buru-buru diadopsi tanpa proses epistemologi yang jelas.
Ada dua peristiwa penting dalam hal pemikiran keagamaan di Barat pada tahun 1960-an, menjelang dilontarkannya pembaruan Islam. Pertama, Konsili Vatikan II (1962-1965). Kedua, terbitnya buku 'The Secular City' karya Harvey Cox. Dari 21 Konsili yang diakui sebagai Konsili Oikumenis oleh Gereja Katolik, sepanjang 2000 tahun sejarahnya, Konsili Vatikan II merupakan yang terbesar. Tujuan Konsili Vatikan II digariskan oleh Paus Yohanes XXIII sebagai pembaruan dalam Gereja Katolik (Paus menyebut dengan istilah aggiornamento).
Melalui Konsili Vatikan II inilah gereja Katolik melakukan perombakan besar-besaran dalam ajaran Gereja. Perombakan dalam aspek teologi, gereja membuang doktrin eksklusif yang berusia ratusan tahun extra Ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan), menjadi doktrin inklusif yang mengakui keselamatan pada agama lain. Perubahan sikap yang paling mencolok bisa dilihat dari sikap Gereja terhadap Yahudi. Bedanya, teologi inklusif dirumuskan oleh Konsili sebagai alternatif untuk membendung arus teologi pluralis. Tetapi, kaum Pembaharu Islam di Indonesia (yang digalang era Nurcholis Madjid), justru mengembangkan paham pluralisme agama.
Pengaruh Modernisme ini lebih tercium baunya bila kita melihat dalam pemikiran Nurcholish Madjid. Beliau mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam.
Nurcholish mencoba membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Batasnya adalah kepercayaan terhadap Hari Kemudian dan prinsip ketuhanan. Namun, pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dikotomis. Ini tidak beda dari prinsip orang-orang sekuler di Barat. Mereka percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, tapi tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka. Agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh masuk ruang publik. Padahal, dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akhirat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism). Fazlur Rahman, pembimbing tesis Nurcholish di Chicago, mengakui bahwa Muslim modernis terpengaruh oleh Barat ketika menekankan penggunaan akal ala Positivisme Barat dalam memahami masalah agama, demokrasi, dan wanita.
Contoh lain dari pengaruh modernisme adalah gagasan pembaharuan Dr Harun Nasution. Tidak beda dari Nurcholish ia mengusung konsep rasionalisasi. ia mengangkat kembali doktrin teologi Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ahlu'l Sunnah. Asumsinya bahwa teologi yang dipakai umat Islam di masa kejayaannya, di zaman kekhalifahan Abbasiyah, adalah teologi rasional Mu'tazilah. Ia juga mengatakan bahwa selama umat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup yang menurut Harun bersifat fatalistik, maka hampir mustahil dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ahlu'l Sunnah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah.
Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan. Belum sampai pada pengungkapan teori tentang bagaimana hubungan akal dan wahyu, misalnya. Gagasan rasionalisasinya bahkan tidak sempat menghasilkan epistemologi baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ke tingkat peradaban yang tinggi justru tidak terbukti dalam sejarah. Di masa kekuasaan Al-Mutawakkil, yang bukan Mu'tazilah itu, ilmu pengetahuan ternyata justru berkembang pesat.
Tren pemikiran yang memisahkan agama dan pemikiran keagamaan adalah pengaruh relativisme postmo. Agama adalah absolut dan pemikiran keagamaan adalah relatif. Oleh karena itu tidak ada yang absolut dalam pemikiran kegamaan. Bahkan tidak ada yang tahu kebenaran kecuali Tuhan. Tren pemikiran yang mencoba menyamakan kebenaran semua agama berasal dari paham pluralisme agama, gerakan rekonstruksi fikih wanita dengan mengedepankan ide kesetaraan gender adalah pengaruh paham feminisme. Namun perlu diketahui, Liberalisasi tersebut tetap akur dengan sekularisme juga rasionalisme. Liberalisasi adalah kepanjangan tangan dari proyek westernisasi. Oleh karena itu tidak heran jika tren pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial.
Akbar S Ahmed mengamati bahwa pemikiran postmodern yang liberal ini dihidupkan oleh semangat pluralisme, diperkuat oleh media, mendukung demokrasi, diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Gerakannya berpusat di kota metropolitan, tumbuh subur dengan wacana-wacana tapi bersikap eklektis, dan terakhir terkait dengan masa lalu tapi dalam bentuk protes.
Selain itu, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat sporadis. Artinya tidak didukung oleh komunitas yang khusus bertekun dalam mengkaji, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran Islam. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaruan itu ternyata lebih cenderung menjustifikasi konsep-konsep Barat modern dan postmodern.
Akibatnya, pembaharuan seperti itu tidak membawa pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Sebab paham, ide, nilai, dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akhirnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, dengan terminologi Barat.
Islam tidak menolak pembaruan, dalam arti tajdid, bukan asal 'pembaruan'. Yang perlu dikaji dengan cermat, Islam bukan agama sejarah dan agama budaya. Islam adalah agama final dan sempurna dari awal, karena Islam memiliki teks kitab suci yang final, yang terjaga otentisitas teks dan maknanya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam pembaharuan pemikiran Islam, pertama-tama adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam. Ini dimaksud agar umat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam sendiri yang baru dalam berbagai bidang. Selain itu mengkaji pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat, pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, dan konsep-konsep penting lainnya. Ini agar Muslim tidak terjerumus pada kerja-kerja justifikasi konsep Barat.
wallahualam
Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan. Belum sampai pada pengungkapan teori tentang bagaimana hubungan akal dan wahyu, misalnya. Gagasan rasionalisasinya bahkan tidak sempat menghasilkan epistemologi baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ke tingkat peradaban yang tinggi justru tidak terbukti dalam sejarah. Di masa kekuasaan Al-Mutawakkil, yang bukan Mu'tazilah itu, ilmu pengetahuan ternyata justru berkembang pesat.
Tren pemikiran yang memisahkan agama dan pemikiran keagamaan adalah pengaruh relativisme postmo. Agama adalah absolut dan pemikiran keagamaan adalah relatif. Oleh karena itu tidak ada yang absolut dalam pemikiran kegamaan. Bahkan tidak ada yang tahu kebenaran kecuali Tuhan. Tren pemikiran yang mencoba menyamakan kebenaran semua agama berasal dari paham pluralisme agama, gerakan rekonstruksi fikih wanita dengan mengedepankan ide kesetaraan gender adalah pengaruh paham feminisme. Namun perlu diketahui, Liberalisasi tersebut tetap akur dengan sekularisme juga rasionalisme. Liberalisasi adalah kepanjangan tangan dari proyek westernisasi. Oleh karena itu tidak heran jika tren pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial.
Akbar S Ahmed mengamati bahwa pemikiran postmodern yang liberal ini dihidupkan oleh semangat pluralisme, diperkuat oleh media, mendukung demokrasi, diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Gerakannya berpusat di kota metropolitan, tumbuh subur dengan wacana-wacana tapi bersikap eklektis, dan terakhir terkait dengan masa lalu tapi dalam bentuk protes.
Selain itu, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat sporadis. Artinya tidak didukung oleh komunitas yang khusus bertekun dalam mengkaji, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran Islam. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaruan itu ternyata lebih cenderung menjustifikasi konsep-konsep Barat modern dan postmodern.
Akibatnya, pembaharuan seperti itu tidak membawa pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Sebab paham, ide, nilai, dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akhirnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, dengan terminologi Barat.
Islam tidak menolak pembaruan, dalam arti tajdid, bukan asal 'pembaruan'. Yang perlu dikaji dengan cermat, Islam bukan agama sejarah dan agama budaya. Islam adalah agama final dan sempurna dari awal, karena Islam memiliki teks kitab suci yang final, yang terjaga otentisitas teks dan maknanya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam pembaharuan pemikiran Islam, pertama-tama adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam. Ini dimaksud agar umat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam sendiri yang baru dalam berbagai bidang. Selain itu mengkaji pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat, pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, dan konsep-konsep penting lainnya. Ini agar Muslim tidak terjerumus pada kerja-kerja justifikasi konsep Barat.
wallahualam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar