Imam Abu Hanifah berkata: "Tidak patut bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang zat Allah kecuali menyifatiNya dengan Sifat-Sifat yang Dia berikan kepada DiriNya, dan tidak boleh seseorang mengatakan sesuatu tentang Allah dengan pendapatnya. Maha Suci serta Maha Tinggi Allah Ta'ala, Rabb semesta alam." [Lihat: Syarah al-Aqidah at-Tahawiyah, karya Ibn Abi al-Izz al-Hanafi, jilid 2, hlmn 472]
para Aimmah Mutaqoddimin, menyakini apa yang diyakini oleh para Sahabat bahwa Allah memiliki Sifat Dzaatiyyah seperti Yad, 'Ain, dst dengan TANPA Tahrif (menghilangkan maknanya), Tanpa Ta'thil (mengalihkan maknanya).
Kami menyakini sifat-sifat tersebut BERBEDA dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh ciptaan, segenap makhluq. Sebab Acuan kami jelas bahwa Allah itu "laysa kamitslihi syai", Allah itu "lam yaalid walam yuulad".
Sehingga kami menyakini sifat tersebut dengan Tanpa Takyif (menanyakan hakikat bagaimananya, bentuknya, visualisasinya, keadaannya) dan Tanpa Tamtsil (mengumpamakan bentuknya, hakikat bagaimananya, keadaannya kepada selain Allah).
Oleh sebab itu kami menTAWFIDHkan hakikat keadaannya, bagaimananya, bentuknya hanya kepada Allah sendiri.
Kami juga tidak pernah menganggap Yad, 'Ain, dst itu adalah Anggota TUBUH, sebab Dzat Yang Maha Mulia itu BUKAN TUBUH"
Apakah Yad, 'Ain, dst berkaitan dengan definisi ANGGOTA TUBUH??
Mari kita lihat apasih definisi TUBUH itu, Bahasa Arabnya TUBUH jelas al Jism.
Ibnu Mandzur berkata:
الجِسْمُ: جماعة البَدَنِ أَو الأَعضاء من الناس والإِبل والدواب وغيرهم من الأَنواع العظيمة
Al-Jismu: kumpulan dari badan atau anggota-anggota seorang manusia, onta, binatang berkaki empat, dan lain-lain yang merupakan bagian yang makhluk yang besar.
Para ahli bahasa hanya menggunakan istilah Jism untuk sesuatu yang berat dan padat, mereka tidak menamakan udara sebagai jism dan jasad lain halnya dengan tubuh manusia yang jelas mereka sebut sebagai jism
Pandangan ahli bahasa tentang Jism sesuai dengan firman Allah taala:
وإذا رأيتهم تعجبك أجسامهم
"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum" (QS al Munaafiquun:4)
Dalam ayat lain Allah berfirman
وزاده بسطة في العلم والجسم
"Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.(QS al Baqarah:247)
Jadi TUBUH / al-Jism adalah terkait dengan Realitas Fisik yang terlihat oleh Indrawi. Sehingga semua Makhluk yang berealita fisik dikategorikan makhluk berjism; manusia, hewan, dst.
Makhluk berJism itu juga dikategorikan sebagai ENTITAS. Setiap Entitas itu dikatakan Maujud bila mempunyai Identitas / Properti / Atribut / Sifat. Karena Sifat itu "Qaimah bidz-Dzat" (meminjam istilah Asy'ariyyah) maka sifat itu juga dapat didefinisikan sebagai bagian dari Dzat. Sehingga, sifat dzaatiyah seperti Yad, 'Ain, dst dalam kontek Makhluk ber-Jism dapat dinyatakan bahwa Yad, 'Ain, Wajh, dst itu adalah Bagian dari Makhluk Berjism atau anggota /property dari Jism/ Tubuh.
Pertanyaan selanjutnya, Apakah dengan demikian kita bisa SECARA UMUM mendefinisikan Sifat Dzaatiyyah; Yad, 'Ain, Wajh, dst itu didefinisikan KAIFIYATnya sebagai/berkait dgn Jism/Tubuh?? Atau Anggota Jism/Tubuh?? Jelas TIDAK.
Sebab, selain Entitas itu ada yang berJism/Tubuh, Ada pula Entitas yang TIDAK berjism / Tubuh. Malaikat, Jin, Syaitan semua adalah contoh dari Entitas yang tidak berJism / Tubuh.
Apakah lantas kita bisa mendefinisikan Sifat Dzaatiyyah; Yad, 'Ain, Wajh, dst yang DIMILIK oleh Entitas yang TIDAK berjism/Tubuh itu dengan definisi KAIFIYATnya adalah anggota/properti Jism/Tubuh?.
Hanya orang yang tidak sehat akalnya saja yang menyatakan seperti itu!. Sebab, jelas-jelas Entitas Tak Berjism itu berbeda dengan Entitas yang BerJism!. Penyamaan definisi KAIFIYAT sifat Dzaatiyyah yang dimiliki keduanya jelas melanggar kaidah-kaidah logis seperti Prinsip Identitas & Prinsip Non Kontradiksi.
Term selanjutnya dimanakah posisi Allah...
Imam al-Baihaqi berkata bahwa Imam Abu Hanifah berkata kepada seorang wanita yang telah bertanya kepadanya: "Di manakah tuhanmu yang engkau sembah itu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya Allah itu ada di langit, bukan di bumi." Lalu tampillah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: "Bagaimana dengan ayat: ......Dia tetap bersama-sama kamu...(surah al-Hadid 57;4). Abu Hanifah menjawab: "Dia seperti engkau menulis surat kepada seorang lelaki dengan mengatakan, "Sesungguhnya aku selalu bersamamu", padahal engkau tidak ada di sampingnya." [Lihat: Kitab al-Asma' wa Sifat, hlmn 429, Imam al-Baihaqi]
Imam Malik berkata: "Allah Di Langit dan IlmuNya berada di setiap tempat, tidaklah tertinggal darinya (Ilmu Allah) apa jua." [Lihat: Siyar A'lam al-Nubala]
Imam Ibn al-Qayyim berkata: "Telah meriwayatkan kepada kami oleh Abu Syu'aib dan Abu Tsaur dari Abu Abdillah Muhammad B. Idris asy-Syafi'ie rahimahullah, dia berkata: "....sesungguhnya Allah di atas ArasyNya, mendekat kepada makhluqNya menurut cara yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah Ta'ala Turun ke langit dunia menurut cara yang Dia kehendaki." [Lihat: Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah, hlmn 94]
Az-Zahabi berkata, diriwayatkan oleh Syeikh al-Islam Abu Hasan al-Hakari dan al-Hafiz Abu Muhammad al-Maqdisi melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abi Syu'aib, kedua-duanya dari Muhammad B. Idris asy-Syafi'i, seorang pembela hadis rahimahullah berkata: "Pendapatku tentang sunnah, di mana aku berpegang kepadanya dan juga berpegang kepadanya oleh orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik dan lain-lain, iaitu pengakuan terhadap persaksian bahawa tiada Tuhan selain Allah dan bahawa Muhammad adalah Rasulullah, dan bahawa Allah itu di atas ArasyNya yang ada di langit. Dia mendekati makhluqNya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki." [Lihat: al-'Uluw lil-'Aliy al-Ghaffar, Imam az-Zahabi]
Al-Qadhi Abu Ya'la ketika meriwayatkan daripada Abu Bakar al-Muruzi dia berkata, aku bertanya Imam Ahmad B. Hambal tentang serangkaian hadis Sifat-Sifat Allah, tentang Ru'yatullah (melihat Allah pada hari akhirat), tentang Isra' dan Arasy. Maka Imam Ahmad B. Hambal mensahihkannya dan berkata: "Umat ini telah menerima dan mengakuinya dan membiarkannya hadis-hadis itu apa adanya sesuai dengan kedatangannya (tanpa ditakwil)." [Lihat: Thabaqat al-Hanabilah, jilid 1, hlmn 56]
Demikian pendapat umum yang dikemukakan oleh para Aimmah mengenai posisi Allah subhaanahu wa ta'ala.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah pendapat dan tesis yang di-ajukan oleh para Mutakallimin, yang kemudian belakangan pendapat Mutakallimin ini ternyata berlainan dengan apa yang telah disepakati oleh para Aimmah Mutaqoddimin. Para Mutakallimin ketika berhadapan dengan ayat-ayat mengenai shifat dan kabar tentang Allah khususnya mengenai posisi Allah ada di Atas Langit ini berusaha membenturkannya dengan pantangan bahwa "Allah itu tidak bergantung pada Arah dan Tempat". Sehingga para Mutakallimin khususnya dikalangan Asy'ariyyah, menghindari "Jihah" kemudian merumuskan konsep bahwa "Allah itu tidak di Alam dan tidak pula di luar Alam".
Pada bahasan kali ini, kita akan mengkomparasikan pendapat para Mutakallimin dengan pendapat umum para Aimmah Mutaqoddimin secara rasional, sehingga kita dapat mengetahui pendapat mana yang paling argumentatif dan sesuai dengan rasio.
Pendapat ""Tidak berada di alam semesta, tidak juga ada di luar alam semesta" sebetulnya adalah sama saja menyatakan "tidak ada dimana-mana". Sesuatu yang "tidak ada dimana-mana" berarti "tidak ada, tidak eksis". Begitu pula pendapat sebaliknya; menyatakan Allah "ada dimana-mana" juga merendahkan martabat Allah. "Ada dimana-mana" berarti bisa ada di toilet, ada di tubuh manusia, ada di kotoran, dst. Tentu kedua pendapat ini akan membawa konsekwensi atas pelanggaran secara Ontologis mengenai posisi "Keberadaan", "eksistensi".
Secara Ontologis, konsep Tempat sangat berkaitan dengan RUANG dan WAKTU. Sehingga, konsep Tempat itu hanya tergelar di "Alam Semesta". Sedangkan "Diluar Alam Semesta" konsep tempat itu tidak berlaku. Sementara Posisi Allah, itu tidak membutuhkan "Ruang dan Waktu" ini berarti Posisi Allah ada di luar "Alam Semesta". Hal ini konkruen dengan pernyataan Ahlus Sunnah bahwa "Allah itu ada di atas" dan "Allah itu Maha Tinggi".
Kesesuaian pernyataan "Allah itu diluar alam semesta" dengan "Allah itu ada di Atas", dapat dibuktikan dengan tergelarnya bumi yang "bulat" ini dalam tata surya. "Allah ada di Atas" berarti menunjuk ke arah langit. Bumi "bulat" ini berarti menunjukkan "arah Atas" itu "keluar dari bumi". Sementara, di atasnya bumi, tergelar langit sistem tata surya Matahari. Dan diatasnya langit sistem tata surya Matahari tergelar kumpulan tata surya yang disebut Galaksi dan diatas Galaksi tergelar sistem langit kumpulan Galaksi-Galaksi atau Nebula, dst.
Hal ini tentu sangat konkruen dengan pernyataan Sunnah bahwa langit tersusun 7 lapis dan batas tertinggi langit tersebut adalah Arsy. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa batas "Alam semesta" itu adalah Langit ke 7. Dan diluar langit ke 7 itu adalah Arsy-Nya dan diluar langit ke 7 itu adalah Arsy-Nya dan Allah ber-Istiwa' DIATAS ArsyNya.
Pertanyaan selanjutnya adalah "Bagaimana dengan pernyataan bahwa Allah itu Maha Dekat" apakah hal tersebut kontradiksi dengan pernyataan "Allah ada di Atas" dan "Allah Maha Tinggi"?.
Kedua Pernyataan tersebut tidaklah saling kontradiksi bahkan kedua pernyataan itu sangatlah selaras dengan rasio. Hubungan Ke-Maha Tinggi-an dan Ke-Maha Dekat-an itu sangatlah erat. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui diskripsi Dimensi yang tergelar dalam setting" makhluk".
Misalnya sebuah bidang 2 dimensi yang posisi kubiknya adalah di koordinat Z=0. Dalam bidang itu misalnya ada Titik P dengan posisi (x,y,z0). Nah, titik lain yang berada di posisi (x,y,z1) adalah titik yang posisinya "di atas Titik P" sekaligus "sangat dekat dengan Titik P".
Begitu juga kalau kita membandingkan antara titik yang ada dalam ruang 3 dimensi dengan titik lain yang ada dalam konteks 4 dimensi. Juga antara yang di 4 dimensi dengan yang di 5 dimensi dan seterusnya.
Sehingga dari komparasi ini, kita bisa mendapatkan kesimpulan bahwa pendapat para Aimmah Mutaqoddimin inilah yang paling rasional dan argumentatif.
para Aimmah Mutaqoddimin, menyakini apa yang diyakini oleh para Sahabat bahwa Allah memiliki Sifat Dzaatiyyah seperti Yad, 'Ain, dst dengan TANPA Tahrif (menghilangkan maknanya), Tanpa Ta'thil (mengalihkan maknanya).
Kami menyakini sifat-sifat tersebut BERBEDA dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh ciptaan, segenap makhluq. Sebab Acuan kami jelas bahwa Allah itu "laysa kamitslihi syai", Allah itu "lam yaalid walam yuulad".
Sehingga kami menyakini sifat tersebut dengan Tanpa Takyif (menanyakan hakikat bagaimananya, bentuknya, visualisasinya, keadaannya) dan Tanpa Tamtsil (mengumpamakan bentuknya, hakikat bagaimananya, keadaannya kepada selain Allah).
Oleh sebab itu kami menTAWFIDHkan hakikat keadaannya, bagaimananya, bentuknya hanya kepada Allah sendiri.
Kami juga tidak pernah menganggap Yad, 'Ain, dst itu adalah Anggota TUBUH, sebab Dzat Yang Maha Mulia itu BUKAN TUBUH"
Apakah Yad, 'Ain, dst berkaitan dengan definisi ANGGOTA TUBUH??
Mari kita lihat apasih definisi TUBUH itu, Bahasa Arabnya TUBUH jelas al Jism.
Ibnu Mandzur berkata:
الجِسْمُ: جماعة البَدَنِ أَو الأَعضاء من الناس والإِبل والدواب وغيرهم من الأَنواع العظيمة
Al-Jismu: kumpulan dari badan atau anggota-anggota seorang manusia, onta, binatang berkaki empat, dan lain-lain yang merupakan bagian yang makhluk yang besar.
Para ahli bahasa hanya menggunakan istilah Jism untuk sesuatu yang berat dan padat, mereka tidak menamakan udara sebagai jism dan jasad lain halnya dengan tubuh manusia yang jelas mereka sebut sebagai jism
Pandangan ahli bahasa tentang Jism sesuai dengan firman Allah taala:
وإذا رأيتهم تعجبك أجسامهم
"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum" (QS al Munaafiquun:4)
Dalam ayat lain Allah berfirman
وزاده بسطة في العلم والجسم
"Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.(QS al Baqarah:247)
Jadi TUBUH / al-Jism adalah terkait dengan Realitas Fisik yang terlihat oleh Indrawi. Sehingga semua Makhluk yang berealita fisik dikategorikan makhluk berjism; manusia, hewan, dst.
Makhluk berJism itu juga dikategorikan sebagai ENTITAS. Setiap Entitas itu dikatakan Maujud bila mempunyai Identitas / Properti / Atribut / Sifat. Karena Sifat itu "Qaimah bidz-Dzat" (meminjam istilah Asy'ariyyah) maka sifat itu juga dapat didefinisikan sebagai bagian dari Dzat. Sehingga, sifat dzaatiyah seperti Yad, 'Ain, dst dalam kontek Makhluk ber-Jism dapat dinyatakan bahwa Yad, 'Ain, Wajh, dst itu adalah Bagian dari Makhluk Berjism atau anggota /property dari Jism/ Tubuh.
Pertanyaan selanjutnya, Apakah dengan demikian kita bisa SECARA UMUM mendefinisikan Sifat Dzaatiyyah; Yad, 'Ain, Wajh, dst itu didefinisikan KAIFIYATnya sebagai/berkait dgn Jism/Tubuh?? Atau Anggota Jism/Tubuh?? Jelas TIDAK.
Sebab, selain Entitas itu ada yang berJism/Tubuh, Ada pula Entitas yang TIDAK berjism / Tubuh. Malaikat, Jin, Syaitan semua adalah contoh dari Entitas yang tidak berJism / Tubuh.
Apakah lantas kita bisa mendefinisikan Sifat Dzaatiyyah; Yad, 'Ain, Wajh, dst yang DIMILIK oleh Entitas yang TIDAK berjism/Tubuh itu dengan definisi KAIFIYATnya adalah anggota/properti Jism/Tubuh?.
Hanya orang yang tidak sehat akalnya saja yang menyatakan seperti itu!. Sebab, jelas-jelas Entitas Tak Berjism itu berbeda dengan Entitas yang BerJism!. Penyamaan definisi KAIFIYAT sifat Dzaatiyyah yang dimiliki keduanya jelas melanggar kaidah-kaidah logis seperti Prinsip Identitas & Prinsip Non Kontradiksi.
Term selanjutnya dimanakah posisi Allah...
Imam al-Baihaqi berkata bahwa Imam Abu Hanifah berkata kepada seorang wanita yang telah bertanya kepadanya: "Di manakah tuhanmu yang engkau sembah itu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya Allah itu ada di langit, bukan di bumi." Lalu tampillah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: "Bagaimana dengan ayat: ......Dia tetap bersama-sama kamu...(surah al-Hadid 57;4). Abu Hanifah menjawab: "Dia seperti engkau menulis surat kepada seorang lelaki dengan mengatakan, "Sesungguhnya aku selalu bersamamu", padahal engkau tidak ada di sampingnya." [Lihat: Kitab al-Asma' wa Sifat, hlmn 429, Imam al-Baihaqi]
Imam Malik berkata: "Allah Di Langit dan IlmuNya berada di setiap tempat, tidaklah tertinggal darinya (Ilmu Allah) apa jua." [Lihat: Siyar A'lam al-Nubala]
Imam Ibn al-Qayyim berkata: "Telah meriwayatkan kepada kami oleh Abu Syu'aib dan Abu Tsaur dari Abu Abdillah Muhammad B. Idris asy-Syafi'ie rahimahullah, dia berkata: "....sesungguhnya Allah di atas ArasyNya, mendekat kepada makhluqNya menurut cara yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah Ta'ala Turun ke langit dunia menurut cara yang Dia kehendaki." [Lihat: Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah, hlmn 94]
Az-Zahabi berkata, diriwayatkan oleh Syeikh al-Islam Abu Hasan al-Hakari dan al-Hafiz Abu Muhammad al-Maqdisi melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abi Syu'aib, kedua-duanya dari Muhammad B. Idris asy-Syafi'i, seorang pembela hadis rahimahullah berkata: "Pendapatku tentang sunnah, di mana aku berpegang kepadanya dan juga berpegang kepadanya oleh orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik dan lain-lain, iaitu pengakuan terhadap persaksian bahawa tiada Tuhan selain Allah dan bahawa Muhammad adalah Rasulullah, dan bahawa Allah itu di atas ArasyNya yang ada di langit. Dia mendekati makhluqNya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki." [Lihat: al-'Uluw lil-'Aliy al-Ghaffar, Imam az-Zahabi]
Al-Qadhi Abu Ya'la ketika meriwayatkan daripada Abu Bakar al-Muruzi dia berkata, aku bertanya Imam Ahmad B. Hambal tentang serangkaian hadis Sifat-Sifat Allah, tentang Ru'yatullah (melihat Allah pada hari akhirat), tentang Isra' dan Arasy. Maka Imam Ahmad B. Hambal mensahihkannya dan berkata: "Umat ini telah menerima dan mengakuinya dan membiarkannya hadis-hadis itu apa adanya sesuai dengan kedatangannya (tanpa ditakwil)." [Lihat: Thabaqat al-Hanabilah, jilid 1, hlmn 56]
Demikian pendapat umum yang dikemukakan oleh para Aimmah mengenai posisi Allah subhaanahu wa ta'ala.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah pendapat dan tesis yang di-ajukan oleh para Mutakallimin, yang kemudian belakangan pendapat Mutakallimin ini ternyata berlainan dengan apa yang telah disepakati oleh para Aimmah Mutaqoddimin. Para Mutakallimin ketika berhadapan dengan ayat-ayat mengenai shifat dan kabar tentang Allah khususnya mengenai posisi Allah ada di Atas Langit ini berusaha membenturkannya dengan pantangan bahwa "Allah itu tidak bergantung pada Arah dan Tempat". Sehingga para Mutakallimin khususnya dikalangan Asy'ariyyah, menghindari "Jihah" kemudian merumuskan konsep bahwa "Allah itu tidak di Alam dan tidak pula di luar Alam".
Pada bahasan kali ini, kita akan mengkomparasikan pendapat para Mutakallimin dengan pendapat umum para Aimmah Mutaqoddimin secara rasional, sehingga kita dapat mengetahui pendapat mana yang paling argumentatif dan sesuai dengan rasio.
Pendapat ""Tidak berada di alam semesta, tidak juga ada di luar alam semesta" sebetulnya adalah sama saja menyatakan "tidak ada dimana-mana". Sesuatu yang "tidak ada dimana-mana" berarti "tidak ada, tidak eksis". Begitu pula pendapat sebaliknya; menyatakan Allah "ada dimana-mana" juga merendahkan martabat Allah. "Ada dimana-mana" berarti bisa ada di toilet, ada di tubuh manusia, ada di kotoran, dst. Tentu kedua pendapat ini akan membawa konsekwensi atas pelanggaran secara Ontologis mengenai posisi "Keberadaan", "eksistensi".
Secara Ontologis, konsep Tempat sangat berkaitan dengan RUANG dan WAKTU. Sehingga, konsep Tempat itu hanya tergelar di "Alam Semesta". Sedangkan "Diluar Alam Semesta" konsep tempat itu tidak berlaku. Sementara Posisi Allah, itu tidak membutuhkan "Ruang dan Waktu" ini berarti Posisi Allah ada di luar "Alam Semesta". Hal ini konkruen dengan pernyataan Ahlus Sunnah bahwa "Allah itu ada di atas" dan "Allah itu Maha Tinggi".
Kesesuaian pernyataan "Allah itu diluar alam semesta" dengan "Allah itu ada di Atas", dapat dibuktikan dengan tergelarnya bumi yang "bulat" ini dalam tata surya. "Allah ada di Atas" berarti menunjuk ke arah langit. Bumi "bulat" ini berarti menunjukkan "arah Atas" itu "keluar dari bumi". Sementara, di atasnya bumi, tergelar langit sistem tata surya Matahari. Dan diatasnya langit sistem tata surya Matahari tergelar kumpulan tata surya yang disebut Galaksi dan diatas Galaksi tergelar sistem langit kumpulan Galaksi-Galaksi atau Nebula, dst.
Hal ini tentu sangat konkruen dengan pernyataan Sunnah bahwa langit tersusun 7 lapis dan batas tertinggi langit tersebut adalah Arsy. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa batas "Alam semesta" itu adalah Langit ke 7. Dan diluar langit ke 7 itu adalah Arsy-Nya dan diluar langit ke 7 itu adalah Arsy-Nya dan Allah ber-Istiwa' DIATAS ArsyNya.
Pertanyaan selanjutnya adalah "Bagaimana dengan pernyataan bahwa Allah itu Maha Dekat" apakah hal tersebut kontradiksi dengan pernyataan "Allah ada di Atas" dan "Allah Maha Tinggi"?.
Kedua Pernyataan tersebut tidaklah saling kontradiksi bahkan kedua pernyataan itu sangatlah selaras dengan rasio. Hubungan Ke-Maha Tinggi-an dan Ke-Maha Dekat-an itu sangatlah erat. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui diskripsi Dimensi yang tergelar dalam setting" makhluk".
Misalnya sebuah bidang 2 dimensi yang posisi kubiknya adalah di koordinat Z=0. Dalam bidang itu misalnya ada Titik P dengan posisi (x,y,z0). Nah, titik lain yang berada di posisi (x,y,z1) adalah titik yang posisinya "di atas Titik P" sekaligus "sangat dekat dengan Titik P".
Begitu juga kalau kita membandingkan antara titik yang ada dalam ruang 3 dimensi dengan titik lain yang ada dalam konteks 4 dimensi. Juga antara yang di 4 dimensi dengan yang di 5 dimensi dan seterusnya.
Sehingga dari komparasi ini, kita bisa mendapatkan kesimpulan bahwa pendapat para Aimmah Mutaqoddimin inilah yang paling rasional dan argumentatif.
Poin ini sebetulnya pertama kali berawal dari diskursus Kosmologi; yakni perdebatan sengit yang terjadi antara para Filosuf Muslim Klasik dan para Mutakallimin (Jahmiyah, Mu'tazilah, Kulabiyah, Asy'ariyah, dst). Para Filosuf seperti Ibn Rushd berpendapat bahwa posisi Tuhan itu berada di Atas alam semesta, terpisah dari Mahluq, sementara kesimpulan itu ditolak oleh para Mutakallimin, penolakan ini disebabkan para Mutakallimin membenturkan pantangan kaidah kalam (seperti akibat penafian qiyaamu'l af‘aal al-ikhtiyaariyyah bi dzaatillaah) untuk mendeskripsikan Tuhan, kemudian mereka mengajukan konsep bahwa Tuhan itu "Tidak berada di Alam Sekaligus Tidak Juga di Luar Alam".
Konsep ini dibantah habis-habisan oleh para Filosuf Muslim sebab terbukti melanggar kaidah Ontologis Rasio mengenai definisi Tempat yang juga disepakati oleh para Mutakallimin sendiri, yakni Tempat adalah wahana tergelarnya Dimensi Ruang dan Waktu, wahana itu tentu hanya tergelar dalam Alam Semesta ini, artinya yang dinamakan "Tempat" ini ya hanya ada didalam Alam Semesta.
Penerimaan konsep "Tidak di Alam Semesta Sekaligus Tidak pula di Luar Alam Semesta" ini bagi Filosuf sangat Absurd, tidak masuk akal, karena telah melanggar Prinsip Non Kontradiksi (Qanun 'adamit tanaqut) dalam Rasionalitas yang prinsip ini juga dipegang oleh para Mutakallimin sendiri. Pelanggaran atas Kaidah Logis tersebut yakni karena para Mutakallimin menyamakan definisi Ontologis Alam Semesta dengan Di Luar Alam Semesta sebagai Tempat. Padahal definisi ontologis kedua obyek tersebut adalah lain, akibatnya bila dipaksakan menerima konsep para Mutakallimin tersebut akan berujung pada penafian keberadaan Tuhan. (Sebab menyatakan "tidak di alam sekaligus tidak diluar alam" sama halnya menyatakan tidak ada dimana-mana, menyatakan sesuatu itu tidak ada dimana-mana, ini sama halnya menyatakan sesuatu itu tidak wujud maujud. Nah, sesuatu yang tidak wujud maujud tentu sesuatu yang tidak ada)
Diskursus bahasan yang terjadi antara Filosuf & Mutakallimin ini juga telah dipaparkan secara komprehensif dalam kitab-kitab Ibn Taimiyyah seperti Dar'ut Ta'arudl al-Aql wa'l Naql, Minhajus Sunnah, Majmu Fatawa, dll. Beliau kemudian melakukan studi komparatif atas berbagai pendapat tersebut, menganalisanya dan membandingkannya dengan pemahaman Aqidah para Aimmah dari era Sahabat sampai Aimmah Ahlu'l Sunnah diatas beliau dengan mengedepankan prinsip adil, proporsional.
Setelah melakukan proses komparatif yang luar biasa detail tersebut beliau kemudian berkesimpulan bahwa pendapat yang paling benar dan paling rasional mengenai posisi Tuhan itu adalah pendapat yang ketiga yakni pendapat yang dipegang oleh para Salaf, yakni Tradisi Sunnah. Beliau berpendapat bahwa pendapat yang ketiga ini adalah paling moderat, sebab dalam analisa beliau bahwa ada beberapa pendapat para Filosuf yang benar, ada pula yang salah. Begitu pula pendapat dari para Mutakallimin, menurut beliau ada beberapa yang benar pula, juga ada yang salah. Nah, pendapat-pendapat yang benar baik dari Filosuf, Mutakallimin ini menurut beliau sudah terakomodir semua dalam Tradisi Sunnah, sehingga beliau berkesimpulan bahwa pendapat yang ketiga itulah yang paling valid.
Konsep ini dibantah habis-habisan oleh para Filosuf Muslim sebab terbukti melanggar kaidah Ontologis Rasio mengenai definisi Tempat yang juga disepakati oleh para Mutakallimin sendiri, yakni Tempat adalah wahana tergelarnya Dimensi Ruang dan Waktu, wahana itu tentu hanya tergelar dalam Alam Semesta ini, artinya yang dinamakan "Tempat" ini ya hanya ada didalam Alam Semesta.
Penerimaan konsep "Tidak di Alam Semesta Sekaligus Tidak pula di Luar Alam Semesta" ini bagi Filosuf sangat Absurd, tidak masuk akal, karena telah melanggar Prinsip Non Kontradiksi (Qanun 'adamit tanaqut) dalam Rasionalitas yang prinsip ini juga dipegang oleh para Mutakallimin sendiri. Pelanggaran atas Kaidah Logis tersebut yakni karena para Mutakallimin menyamakan definisi Ontologis Alam Semesta dengan Di Luar Alam Semesta sebagai Tempat. Padahal definisi ontologis kedua obyek tersebut adalah lain, akibatnya bila dipaksakan menerima konsep para Mutakallimin tersebut akan berujung pada penafian keberadaan Tuhan. (Sebab menyatakan "tidak di alam sekaligus tidak diluar alam" sama halnya menyatakan tidak ada dimana-mana, menyatakan sesuatu itu tidak ada dimana-mana, ini sama halnya menyatakan sesuatu itu tidak wujud maujud. Nah, sesuatu yang tidak wujud maujud tentu sesuatu yang tidak ada)
Diskursus bahasan yang terjadi antara Filosuf & Mutakallimin ini juga telah dipaparkan secara komprehensif dalam kitab-kitab Ibn Taimiyyah seperti Dar'ut Ta'arudl al-Aql wa'l Naql, Minhajus Sunnah, Majmu Fatawa, dll. Beliau kemudian melakukan studi komparatif atas berbagai pendapat tersebut, menganalisanya dan membandingkannya dengan pemahaman Aqidah para Aimmah dari era Sahabat sampai Aimmah Ahlu'l Sunnah diatas beliau dengan mengedepankan prinsip adil, proporsional.
Setelah melakukan proses komparatif yang luar biasa detail tersebut beliau kemudian berkesimpulan bahwa pendapat yang paling benar dan paling rasional mengenai posisi Tuhan itu adalah pendapat yang ketiga yakni pendapat yang dipegang oleh para Salaf, yakni Tradisi Sunnah. Beliau berpendapat bahwa pendapat yang ketiga ini adalah paling moderat, sebab dalam analisa beliau bahwa ada beberapa pendapat para Filosuf yang benar, ada pula yang salah. Begitu pula pendapat dari para Mutakallimin, menurut beliau ada beberapa yang benar pula, juga ada yang salah. Nah, pendapat-pendapat yang benar baik dari Filosuf, Mutakallimin ini menurut beliau sudah terakomodir semua dalam Tradisi Sunnah, sehingga beliau berkesimpulan bahwa pendapat yang ketiga itulah yang paling valid.
Sekarang kita masuk pada bahasan pendapat ketiga tersebut yakni Tradisi Sunnah mengenai posisi Allah ta'alaa (sekaligus membuktikan bahwa pendapat ini adalah pendapat paling moderat yang menampung dan sintesis dari beberapa pendapat yang benar dari Filosuf & Mutakallimin).
Ibn Taimiyyah dalam Majmu Fatawa Juz V menyatakan tentang bagaimana Tradisi Sunnah mendeskripsikan Allah, beliau menyatakan; "Mazhab mereka menyifati Allah sesuai dengan apa yang telah Ia sifatkan bagi diri dan apa yang telah disifatkan oleh RasulNya tanpa Tahrif (perubahan), Ta’thil (Penghilangan), takyif (visualisasi), dan tamtsil (penyerupaan)".
Pernyataan Ibn Taimiyyah tersebut menyuarakan kembali pandangan-pandangan Aimmah Ahlu'l Sunnah seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, Ibnul Mubarak, Abdul Aziz Al-Kinany, Abu Nu'aim Al-Ashbahany, Al-Bukhary, Abu Utsman Ash-Shabuny, Ibnu Khuzaimah, Utsman Ad-Darimy, Al-Khaththaby, dan Ibnu Abdil Barr, Abu Sulaiman Ad-Darany, Al-Junayd, Sahl At-Tustury, Abu Utsman An-Naisabury, Abdul Qadir Al-Jailany, dst.
Pandangan tersebut adalah pandangan yang paling valid dan paling rasional, sebab yang paling berhak mendeskripsikan Tuhan tentu hanyalah Tuhan itu sendiri yakni melalui firman-Nya dan penjelasan Nabi-Nya.
Tradisi Sunnah juga memandang bahwa Allah tidak diserupai oleh apapun baik Dzat, sifat, maupun perbuatanNya. Allah juga tidak bertempat, tidak memerlukan naungan sebab justru segala tempat, wahana bergantung pada-Nya. Hal tersebut ditegaskan oleh Ibn Taimiyyah misalnya dalam Majmu Fatawa-nya Jilid V, beliau menyatakan;
"Mereka Meyakini bahwa Allah Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya pada seluruh sifat yang telah ia sematkan bagi diriNya, mensucikan Allah dari sifat kurang dan jelek dan menetapkan Sifat kesempurnaan bagiNya, dan meyakini bahwasanya tidak ada siapapun yang menyetarai sifat kesempurnaanya".
Beliau lalu mengutip pernyataan Nuaim bin Hammad Al Khazani;
“Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluknya maka Sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari apa yang telah Ia sifatkan untuk diriNya maka sungguh ia telah kafir".
Oleh sebab itu sangat jelas bahwa Ibn Taimiyyah MENOLAK pandangan bahwa Allah itu bertempat, membutuhkan wahana. Pandangan tersebut juga terbukti telah mengakomodir pendapat para Mutakallimin yang menyakini keberadaan Tuhan itu tidak membutuhkan tempat.
Selanjutnya, kita akan membedah secara ontologis apa yang dimaksud dengan tempat tersebut. Definisi Tempat adalah suatu wahana yang berdimensi Ruang dan Waktu. Tentu wahana tersebut tidak lain adalah wahana Alam Semesta itu sendiri, sebab Alam Semesta adalah tempat tergelarnya dimensi ruang dan waktu. Sehingga kesimpulan "Allah tidak membutuhkan tampat" atau "Allah tidak bertempat" adalah menunjukkan posisi Tuhan tersebut diluar dari wahana yang berdimensi ruang dan waktu, yang berarti Allah itu posisi-Nya di luar alam semesta, terpisah dari ciptaan-Nya.
Para Aimmah Mutaqoddimin mendeskripsikan posisi "diluar alam semesta" tersebut kemudian dengan menggunakan istilah-istilah dari Nash sendiri yang menunjukkan "diluar alam semesta" itu adalah "di atas alam semesta", "di atas Arsy", "di atas langit". Pilihan menggunakan istilah "di atas" yang berasal dari Nash inilah pilihan yang paling tepat untuk mendeskripsikan posisi Dzat Yang Maha Agung dan Maha Tinggi tersebut di luar alam semesta.
Hal ini termaktub dalam Nash-Nash Qur'an seperti;
Dalam QS (Al-Mulk: 16-17); "Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di langit bahawa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama kalian, sehingga tiba-tiba bumi itu bergoncang. Ataukah kalian meresa aman terhadap Tuhan yang di langit bahawa Dia akan menghantarkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku"
QS Al Fathir : 10; "KepadaNya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal soleh yang dinaikkanNya"
QS an-Nahl : 50; "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka…"
QS Thaha : 5; ""Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas 'Arasy",
Dst
Ibn Taimiyyah dalam Majmu Fatawa Juz V menyatakan tentang bagaimana Tradisi Sunnah mendeskripsikan Allah, beliau menyatakan; "Mazhab mereka menyifati Allah sesuai dengan apa yang telah Ia sifatkan bagi diri dan apa yang telah disifatkan oleh RasulNya tanpa Tahrif (perubahan), Ta’thil (Penghilangan), takyif (visualisasi), dan tamtsil (penyerupaan)".
Pernyataan Ibn Taimiyyah tersebut menyuarakan kembali pandangan-pandangan Aimmah Ahlu'l Sunnah seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, Ibnul Mubarak, Abdul Aziz Al-Kinany, Abu Nu'aim Al-Ashbahany, Al-Bukhary, Abu Utsman Ash-Shabuny, Ibnu Khuzaimah, Utsman Ad-Darimy, Al-Khaththaby, dan Ibnu Abdil Barr, Abu Sulaiman Ad-Darany, Al-Junayd, Sahl At-Tustury, Abu Utsman An-Naisabury, Abdul Qadir Al-Jailany, dst.
Pandangan tersebut adalah pandangan yang paling valid dan paling rasional, sebab yang paling berhak mendeskripsikan Tuhan tentu hanyalah Tuhan itu sendiri yakni melalui firman-Nya dan penjelasan Nabi-Nya.
Tradisi Sunnah juga memandang bahwa Allah tidak diserupai oleh apapun baik Dzat, sifat, maupun perbuatanNya. Allah juga tidak bertempat, tidak memerlukan naungan sebab justru segala tempat, wahana bergantung pada-Nya. Hal tersebut ditegaskan oleh Ibn Taimiyyah misalnya dalam Majmu Fatawa-nya Jilid V, beliau menyatakan;
"Mereka Meyakini bahwa Allah Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya pada seluruh sifat yang telah ia sematkan bagi diriNya, mensucikan Allah dari sifat kurang dan jelek dan menetapkan Sifat kesempurnaan bagiNya, dan meyakini bahwasanya tidak ada siapapun yang menyetarai sifat kesempurnaanya".
Beliau lalu mengutip pernyataan Nuaim bin Hammad Al Khazani;
“Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluknya maka Sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari apa yang telah Ia sifatkan untuk diriNya maka sungguh ia telah kafir".
Oleh sebab itu sangat jelas bahwa Ibn Taimiyyah MENOLAK pandangan bahwa Allah itu bertempat, membutuhkan wahana. Pandangan tersebut juga terbukti telah mengakomodir pendapat para Mutakallimin yang menyakini keberadaan Tuhan itu tidak membutuhkan tempat.
Selanjutnya, kita akan membedah secara ontologis apa yang dimaksud dengan tempat tersebut. Definisi Tempat adalah suatu wahana yang berdimensi Ruang dan Waktu. Tentu wahana tersebut tidak lain adalah wahana Alam Semesta itu sendiri, sebab Alam Semesta adalah tempat tergelarnya dimensi ruang dan waktu. Sehingga kesimpulan "Allah tidak membutuhkan tampat" atau "Allah tidak bertempat" adalah menunjukkan posisi Tuhan tersebut diluar dari wahana yang berdimensi ruang dan waktu, yang berarti Allah itu posisi-Nya di luar alam semesta, terpisah dari ciptaan-Nya.
Para Aimmah Mutaqoddimin mendeskripsikan posisi "diluar alam semesta" tersebut kemudian dengan menggunakan istilah-istilah dari Nash sendiri yang menunjukkan "diluar alam semesta" itu adalah "di atas alam semesta", "di atas Arsy", "di atas langit". Pilihan menggunakan istilah "di atas" yang berasal dari Nash inilah pilihan yang paling tepat untuk mendeskripsikan posisi Dzat Yang Maha Agung dan Maha Tinggi tersebut di luar alam semesta.
Hal ini termaktub dalam Nash-Nash Qur'an seperti;
Dalam QS (Al-Mulk: 16-17); "Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di langit bahawa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama kalian, sehingga tiba-tiba bumi itu bergoncang. Ataukah kalian meresa aman terhadap Tuhan yang di langit bahawa Dia akan menghantarkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku"
QS Al Fathir : 10; "KepadaNya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal soleh yang dinaikkanNya"
QS an-Nahl : 50; "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka…"
QS Thaha : 5; ""Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas 'Arasy",
Dst
Posisi di Atas tersebut secara empiris berkaitan dengan Arah (Jihat). Perlu diketahui pendefinisian Arah secara ontologis sendiri ternyata tidak berkaitan dengan definisi Tempat. Hal ini dikarenakan, Arah (Jihat) bersifat RELATIF tergantung persepsi dari posisi antar Entitas, yakni Entitas yang bertindak sebagai Observer (pengamat) dengan Entitas yang berlaku sebagai Obyek yang diamati (diobservasi). Jadi "arah" itu bukan berarti "bertempat".
Dalam ranah 2 Dimensi misalnya ada 2 Obyek yakni P & Q. Posisi P berada dikoordinat (x,y,z0) sedang posisi Q berada dikoordinat (x,y,z1). Tentu jika posisi P diposisikan sebagai acuan Observersi terhadap posisi Q, maka P akan mempersepsikan posisi Q ada diatasnya. Begitupula sebaliknya, bila Q diposisikan sebagai acuan observasi maka P bagi Q ada dibawahnya. Tentunya, posisi di-atas Q terhadap P tersebut tidak bisa dibilang bahwa Q bertempat di P dan sebaliknya.
Sehingga adalah salah kaprah mendefinisikan Arah (Jihat) itu sebagai Tempat, pendefinisian seperti itu jelas melanggar kaidah nalar/rasio dan indrawi serta Nash. Sebab, ternyata para Aimmah Mutaqoddimin kalangan Ahlu'l Sunnah pun tidak pernah memberikan definisi seperti itu, sehingga pendefinisian tersebut tentu saja dikategorikan sebagai bid'ah, menyimpang dan sesat. Beliau, ibn Taimiyyah selanjutnya mengomentari hal tersebut masih dalam Majmu Fatawa jilid V yakni;
"Adapun orang yang mengatakan untuk meyakini penafian Jihat dan tahayyuz pada Allah, maka penetepan itu sama sekali tidak terdapat dalam perkataanku. Karena penafian lafadz ini secara mutlak adalah bid’ah, sementara aku hanya mengatakan sesuai dengan yang telah disampaikan oleh kitab dan sunnah serta yang telah disepakati oleh Ummat".
Lebih lanjut beliau, ibn Taimiyyah menyatakan;
"Adapun orang yang mengatakan untuk tidak menunjuk kepada Allah dengan jemari sebagai penunjukan inderawi, maka ini bukanlah perkataanku, justeru aku mengatakan untuk mengingkari pernyataan yang telah dibuat-buat oleh ahli bid’ah tentang lafadz-lafadz penafian. Semisal: “Sesungguhnya Allah tidak ditunjuk”. Penafian semacam ini adalah bid’ah juga.
Jika Seseorang memaksudkan bahwa Allah tidak ditunjuk karena Allah tidak dibatasi oleh makhluknya dan alasan-alasan lain yang mengandung makna yang sohih, maka hal itu adalah benar. Jika yang dimaksudkan bahwa orang yang berdoa kepada Allah tidak mengangkat tangan kepadaNya, maka ini menyelisihi sunnah-sunnah yang telah Mutawattir dari Nabi Shallallahu Alaihi wasallam".
Jadi sekali lagi Arah (Jihat) adalah tidak berkaitan dengan definisi Tempat dan juga bukan dikategorikan sebagai Tempat.
Sehingga menjadi sangat jelas bahwa yang dimaksud oleh para Aimmah sesuai dengan Nash bahwa Allah itu ada di atas Arsy dan Arsy sendiri ada di atas langit menunjukkan posisi Allah ada di Luar Alam Semesta. Hal ini juga konkruen dengan kesimpulan para Filosuf seperti Ibn Rushd yang menyatakan posisi Tuhan itu di Atas.
Posisi "Atas" ini benar-benar menunjukkan arah atas langit keluar dari wahana langit bumi dari sudut pandang manusia yang hidup dipermukaan bumi yang bulat ini. Sebab, bagi Manusia yang hidup diatas permukaan planet bumi yang bulat ini dan dalam lingkup wahana langit alam semesta ini, posisi Allah jelas ada di Atas dan posisi di atas itu merujuk ada di Luar wahana alam semesta.
Dan posisi Allah jelas pula TIDAK MUNGKIN dibawah manusia yang mengamati. Sebab, dibawah manusia yang mengamati jelas adalah Inti Planet Bumi (sebab manusia berpijak diatas permukaan Bumi). Posisi Allah juga jelas pula TIDAK MUNGKIN ada di Kanan-Kiri manusia yang mengamati. Sebab, di Kanan-Kiri Manusia itu adalah obyek-obyek lain yang ada dipermukaan Bumi.
Posisi Atas-Nya Allah juga BERBEDA dengan Posisi Atasnya Matahari, bintang, galaksi, Malaikat, obyek langit lainnya, dst walaupun sama-sama bagi manusia yang mengamati yang ada dimuka bumi ini, posisi obyek-obyek tersebut sama-sama ada di Atas. Sebab, Posisi Atasnya Matahari, bintang, galaksi, Malaikat, obyek langit lainnya, dst MASIH DALAM WAHANA ALAM SEMESTA. Sedang, posisi Atas-nya Allah jelas ADA DI LUAR WAHANA ALAM SEMESTA.
Oleh sebab itu Nash yang menyatakan Allah ada di atas arsyNya jelas hal itu berarti posisi Allah diluar dari alam semesta dan terpisah dari ciptaan. Dan, posisi luar alam semesta itu sendiri bukanlah tempat melainkan diluar semesta itu ya Dzat Allah itu sendiri, oleh sebab itu Dzat Allah diposisikan juga meliputi segala sesuatu (sebab segala sesuatu itu posisinya ada didalam wahana alam semesta).
Dan ini jelas sangat-sangat konkruen dengan nash yang menyatakan; "kemanapun kamu menghadap ada wajah Allah" (QS 2/115). Hal ini juga erat berkaitan dengan dekatNya posisi Allah terhadap ciptaanNya (QS 50/16) sebab arah Atas dan dekat adalah sama-sama berkaitan dengan kerelatifan observer (dari sisi yang mana hal itu dipandang).
Posisi Allah bagi manusia jelas ia Jauh di Atas di luar alam semesta, sementara posisi manusia bagi Allah adalah dekat sebab jauh-dekatnya dalam konteks drajat manusia sebagai mahluk jelas berbeda dengan drajat Allah sehingga apa yang dianggap jauh bagi manusia tidak tepat untuk disematkan pada Allah, sebab bagi Allah, "jauh" menurut manusia itu dekat.
Oleh karena itu, kesimpulan dan ketetapan atas Allah ada di atas Arsy adalah kesimpulan paling rasional dan valid dibanding dengan kesimpulan para mutakallimin di era mutaakhirin yang menyatakan posisi Allah "tidak di alam sekaligus tidak di luar alam" dan kesimpulan para shufi falasifah yang menyatakan posisi Allah itu abstrak ada dimana-mana.
Kesimpulan itu juga telah jelas dipaparkan oleh Ibn Taimiyyah dalam Majmu Fatawa-nya, beliau menyatakan;
"Jika orang tersebut berkeyakinan bahwa Al kholiq terpisah dari makhluknya, diatas langitnya bersemayam diatas Arsy terpisah dari makhluknya, Tidak ada sedikitpun unsur makhluk di dalam zatNya dan tidak ada sedikitpun unsurNya didalam makhlukNya, tidak membutuhkan Arsy dan apapun selain Arsy, tidak bergantung kepada satupun dari makhlukNya-meskipun demikian, Dialah yang mengangkat Arsy dan pengangkatan Arsy bergantung kepada qudrahNya-, tidak menyamakan istiwa Allah dengan dengan istiwa segenap makhluk tetapi menetapkan nama-nama dan semua sifat sesuai dengan apa yang telah Ia tetapkan bagi diriNya, menafikan kesamaanNya dengan segenap makhlukNya, meyakini bahwa Allah tidak sama dengan apapun-tidak pada zatnya, sifatnya, maupun perbuatanya-, Maka orang tersebut memiliki keyakinan yang sama dengan dengan ummat dan para imam terdahulu"
Pengingkaran terhadap kesimpulan Allah ada di Atas Arsy merupakan pengingkaran terhadap fitrah manusia yang diberikan potensi Nalar dan Indrawi, rasio dan empis. Pengingkaran itu sejatinya akan membawa manusia pada kesesatan berfikir. Hal ini pula telah disampaikan oleh Ibn Taimiyyah dalam karya-karya-nya yang merupakan juga rangkuman pendapat para Aimmah Mutaqoddimin sebelum beliau.
Seperti misalnya pernyataan Imam Abu Hanifah dalam Fiqh al-Akbar;
"Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir”
Lebih lanjut masih dalam Fiqh al-Akbar, beliau menyatakan;
"..mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman, "Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.
Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir”
Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sangkakan.
Dalam ranah 2 Dimensi misalnya ada 2 Obyek yakni P & Q. Posisi P berada dikoordinat (x,y,z0) sedang posisi Q berada dikoordinat (x,y,z1). Tentu jika posisi P diposisikan sebagai acuan Observersi terhadap posisi Q, maka P akan mempersepsikan posisi Q ada diatasnya. Begitupula sebaliknya, bila Q diposisikan sebagai acuan observasi maka P bagi Q ada dibawahnya. Tentunya, posisi di-atas Q terhadap P tersebut tidak bisa dibilang bahwa Q bertempat di P dan sebaliknya.
Sehingga adalah salah kaprah mendefinisikan Arah (Jihat) itu sebagai Tempat, pendefinisian seperti itu jelas melanggar kaidah nalar/rasio dan indrawi serta Nash. Sebab, ternyata para Aimmah Mutaqoddimin kalangan Ahlu'l Sunnah pun tidak pernah memberikan definisi seperti itu, sehingga pendefinisian tersebut tentu saja dikategorikan sebagai bid'ah, menyimpang dan sesat. Beliau, ibn Taimiyyah selanjutnya mengomentari hal tersebut masih dalam Majmu Fatawa jilid V yakni;
"Adapun orang yang mengatakan untuk meyakini penafian Jihat dan tahayyuz pada Allah, maka penetepan itu sama sekali tidak terdapat dalam perkataanku. Karena penafian lafadz ini secara mutlak adalah bid’ah, sementara aku hanya mengatakan sesuai dengan yang telah disampaikan oleh kitab dan sunnah serta yang telah disepakati oleh Ummat".
Lebih lanjut beliau, ibn Taimiyyah menyatakan;
"Adapun orang yang mengatakan untuk tidak menunjuk kepada Allah dengan jemari sebagai penunjukan inderawi, maka ini bukanlah perkataanku, justeru aku mengatakan untuk mengingkari pernyataan yang telah dibuat-buat oleh ahli bid’ah tentang lafadz-lafadz penafian. Semisal: “Sesungguhnya Allah tidak ditunjuk”. Penafian semacam ini adalah bid’ah juga.
Jika Seseorang memaksudkan bahwa Allah tidak ditunjuk karena Allah tidak dibatasi oleh makhluknya dan alasan-alasan lain yang mengandung makna yang sohih, maka hal itu adalah benar. Jika yang dimaksudkan bahwa orang yang berdoa kepada Allah tidak mengangkat tangan kepadaNya, maka ini menyelisihi sunnah-sunnah yang telah Mutawattir dari Nabi Shallallahu Alaihi wasallam".
Jadi sekali lagi Arah (Jihat) adalah tidak berkaitan dengan definisi Tempat dan juga bukan dikategorikan sebagai Tempat.
Sehingga menjadi sangat jelas bahwa yang dimaksud oleh para Aimmah sesuai dengan Nash bahwa Allah itu ada di atas Arsy dan Arsy sendiri ada di atas langit menunjukkan posisi Allah ada di Luar Alam Semesta. Hal ini juga konkruen dengan kesimpulan para Filosuf seperti Ibn Rushd yang menyatakan posisi Tuhan itu di Atas.
Posisi "Atas" ini benar-benar menunjukkan arah atas langit keluar dari wahana langit bumi dari sudut pandang manusia yang hidup dipermukaan bumi yang bulat ini. Sebab, bagi Manusia yang hidup diatas permukaan planet bumi yang bulat ini dan dalam lingkup wahana langit alam semesta ini, posisi Allah jelas ada di Atas dan posisi di atas itu merujuk ada di Luar wahana alam semesta.
Dan posisi Allah jelas pula TIDAK MUNGKIN dibawah manusia yang mengamati. Sebab, dibawah manusia yang mengamati jelas adalah Inti Planet Bumi (sebab manusia berpijak diatas permukaan Bumi). Posisi Allah juga jelas pula TIDAK MUNGKIN ada di Kanan-Kiri manusia yang mengamati. Sebab, di Kanan-Kiri Manusia itu adalah obyek-obyek lain yang ada dipermukaan Bumi.
Posisi Atas-Nya Allah juga BERBEDA dengan Posisi Atasnya Matahari, bintang, galaksi, Malaikat, obyek langit lainnya, dst walaupun sama-sama bagi manusia yang mengamati yang ada dimuka bumi ini, posisi obyek-obyek tersebut sama-sama ada di Atas. Sebab, Posisi Atasnya Matahari, bintang, galaksi, Malaikat, obyek langit lainnya, dst MASIH DALAM WAHANA ALAM SEMESTA. Sedang, posisi Atas-nya Allah jelas ADA DI LUAR WAHANA ALAM SEMESTA.
Oleh sebab itu Nash yang menyatakan Allah ada di atas arsyNya jelas hal itu berarti posisi Allah diluar dari alam semesta dan terpisah dari ciptaan. Dan, posisi luar alam semesta itu sendiri bukanlah tempat melainkan diluar semesta itu ya Dzat Allah itu sendiri, oleh sebab itu Dzat Allah diposisikan juga meliputi segala sesuatu (sebab segala sesuatu itu posisinya ada didalam wahana alam semesta).
Dan ini jelas sangat-sangat konkruen dengan nash yang menyatakan; "kemanapun kamu menghadap ada wajah Allah" (QS 2/115). Hal ini juga erat berkaitan dengan dekatNya posisi Allah terhadap ciptaanNya (QS 50/16) sebab arah Atas dan dekat adalah sama-sama berkaitan dengan kerelatifan observer (dari sisi yang mana hal itu dipandang).
Posisi Allah bagi manusia jelas ia Jauh di Atas di luar alam semesta, sementara posisi manusia bagi Allah adalah dekat sebab jauh-dekatnya dalam konteks drajat manusia sebagai mahluk jelas berbeda dengan drajat Allah sehingga apa yang dianggap jauh bagi manusia tidak tepat untuk disematkan pada Allah, sebab bagi Allah, "jauh" menurut manusia itu dekat.
Oleh karena itu, kesimpulan dan ketetapan atas Allah ada di atas Arsy adalah kesimpulan paling rasional dan valid dibanding dengan kesimpulan para mutakallimin di era mutaakhirin yang menyatakan posisi Allah "tidak di alam sekaligus tidak di luar alam" dan kesimpulan para shufi falasifah yang menyatakan posisi Allah itu abstrak ada dimana-mana.
Kesimpulan itu juga telah jelas dipaparkan oleh Ibn Taimiyyah dalam Majmu Fatawa-nya, beliau menyatakan;
"Jika orang tersebut berkeyakinan bahwa Al kholiq terpisah dari makhluknya, diatas langitnya bersemayam diatas Arsy terpisah dari makhluknya, Tidak ada sedikitpun unsur makhluk di dalam zatNya dan tidak ada sedikitpun unsurNya didalam makhlukNya, tidak membutuhkan Arsy dan apapun selain Arsy, tidak bergantung kepada satupun dari makhlukNya-meskipun demikian, Dialah yang mengangkat Arsy dan pengangkatan Arsy bergantung kepada qudrahNya-, tidak menyamakan istiwa Allah dengan dengan istiwa segenap makhluk tetapi menetapkan nama-nama dan semua sifat sesuai dengan apa yang telah Ia tetapkan bagi diriNya, menafikan kesamaanNya dengan segenap makhlukNya, meyakini bahwa Allah tidak sama dengan apapun-tidak pada zatnya, sifatnya, maupun perbuatanya-, Maka orang tersebut memiliki keyakinan yang sama dengan dengan ummat dan para imam terdahulu"
Pengingkaran terhadap kesimpulan Allah ada di Atas Arsy merupakan pengingkaran terhadap fitrah manusia yang diberikan potensi Nalar dan Indrawi, rasio dan empis. Pengingkaran itu sejatinya akan membawa manusia pada kesesatan berfikir. Hal ini pula telah disampaikan oleh Ibn Taimiyyah dalam karya-karya-nya yang merupakan juga rangkuman pendapat para Aimmah Mutaqoddimin sebelum beliau.
Seperti misalnya pernyataan Imam Abu Hanifah dalam Fiqh al-Akbar;
"Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir”
Lebih lanjut masih dalam Fiqh al-Akbar, beliau menyatakan;
"..mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman, "Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.
Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir”
Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sangkakan.
"Sebetulnya, kasus ini lebih merupakan PERSOALAN ONTOLOGI ketimbang PERSOALAN LOGIKA. Logika adalah pembahasan mengenai Nilai Kebenaran, sedangkan Ontologi adalah pembahasan mengenai Posisi Keberadaan. Nah, Logika hanya membahas hal-hal atau obyek-obyek yang secara ontologis memang sederajat. Hal-hal atau obyek-obyek yang secara ontologis tidak
sederajat, harus dikaji dulu posisi ontologisnya, baru kemudian dikaji nilai kebenarannya dengan penempatan posisi yang sesuai.
Nah, dalam kasus Sifat dan Dzat ini:
A. Dzat Allah : Entitas di Jenjang Real yang Independen
B. Sifatnya Allah : Atribut di Jenjang Real yang Dependen
C. Selain Allah : Entitas di Jenjang Real yang Independen
D. Sifatnya Selain Allah : Atribut di Jenjang Real yang Dependen
Dalam PERBANDINGAN (PERSAMAAN/PERTIDAKSAMAAN) LOGIKA, antara A,B,C, dan D semuanya relevan untuk dibandingkan, kecuali antara A dengan B atau antara C dengan D. Sebab B tidak terpisahkan dari A dan D adalah juga sesuatu yang tidak terpisahkan dari C.
Dalam bentuk literalnya, yang RELEVAN adalah:
1- Apakah Allah itu sama dengan Makhluk?
2- Apakah Sifat Allah itu sama dengan sifat Makhluk?
3- Apakah Makhluk itu sama dengan Allah?
4- Apakah sifat Makhluk itu sama dengan sifat Allah?
Yang TIDAK RELEVAN:
5- Apakah [dzat] Allah itu sama dengan sifat Allah?
6- Apakah [dzat] makhluk itu sama dengan sifat Makhluk?
7- Apakah sifat Allah itu sama dengan [dzat] Allah?
8- Apakah sifat makhluk itu sama dengan [dzat] Makhluk?
9- Apakah sifat Allah itu sama dengan [dzat] Makhluk?
10- Apakah sifat makhluk itu sama dengan [dzat] Allah?
Baik Jahmiyyah maupun Muktazilah, mereka sama-sama terjebak dipertanyaan nomor 5 dan 7. Mereka menganggap, bahwa kalau Tuhan itu punya sifat, berarti sifat itu adalah "tuhan lain", sebab sifat Tuhan itu bukan Tuhan sekaligus bukan selain Tuhan. Padahal "sifat Tuhan" adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari Tuhan. Sesuatu yang tidak terpisahkan dari Tuhan, tentu tidak relevan sama sekali untuk disebut sebagai "tuhan lain". Sifat Tuhan adalah atribut/predikat Tuhan, bukan sesuatu yang lain. Di sisi lain, menganggap Tuhan tidak punya sifat/atribut, sama saja menganggap Tuhan itu tidak ada (sebab secara ontologis, yang tidak punya atribut sama sekali itu hanyalah "nothing").
Mereka juga kemudian menganggap bahwa Al-Quran itu makhluk. Bagi Jahmiyyah, Al-Quran itu "makhluk" karena bukan merupakan "firman Tuhan" (Jahmiyyah tidak menganggap tuhan punya firman). Sedangkan bagi Muktazilah, Al-Quran itu "makhluk", karena menurut mereka kalau
bukan makhluk berarti Al-Quran itu "tuhan lain". Padahal Al-Quran adalah firman Tuhan. Dan secara ontologis, yang namanya "firman Tuhan" itu adalah atribut/predikat yang tidak terpisahkan dari (dependen pada) Tuhan. Sesuatu yang merupakan predikat Tuhan, tentu saja bukan merupakan makhluk.
Tambahan dari kami;
Sedangkan Kulabiyyah dan Asy'ariyyah, mereka terjebak pada pendefinisian Sifat secara Ontologis. Karena asumsi mereka yg menyatakan bahwa sesuatu yang mempunyai Sifat itu adalah “tersusun”, sedang disisi lain mereka menerima postulat sesuatu yang maujud itu “nyata” syaratnya mempunyai Sifat / Atribut untuk dikenali maka mereka akhirnya mengajukan argumen bahwa Sifat yang dimiliki Dzat Allah itu “Qaimah bidz-Dzat” (menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipandang secara terpisah-pisah dari Dzat) karena bagi mereka, memandang (mendefinisikan) sifat tersebut secara terpisah maka akan berakibat pada hilangnya kemanunggalan wujud Dzat itu sendiri. Nah, disinilah mereka sebenarnya terpengaruh oleh Jahmiyyah dan Muktazilah yang terjebak pada pertanyaan nomer 5 dan 7 itu.
KARENA Kullabiyah dan Asy'ariyyah berkomitmen untuk TETAP mengakui adanya Sifat Allah tsbt (tidak seperti Jahmiyyah & Muktazillah) SEMENTARA mereka sendiri terjebak terpengaruh oleh Jahmiyyah & Muktazillah yang tersesat karena kesalahan pertanyaan No. 5 & 7 diatas, akhirnya untuk memenuhi pertanyaan No. 5 & 7 itu, dalam memandang Sifat Tuhan seperti Sifat Dzatiyyah & Fi'liyyah (ikhtiyariyah: berbuat, mencipta, berkalam) Kullabiyyah & As'ariyyah mengajukan konsep "ta'alluq tanjiizy hadiits", bahwa perbuatan seperti mencipta, berkalam, dst (yg berkaitan dengan hal-hal yang baharu itu) adalah merupakan manifestasi aktual yang baharu dari Iradah (kehendak) yang azali, abadi (yg berarti juga menganggap perbuatan itu adalah ciptaan)
Alasan Kullabiyyah & Asy'ariyyah melontarkan konsep tsbt, karena mereka mengasumsikan "kullu maa laa yakhluu mina'l hawaadits, fahuwa haadits” (bahwa semua yang tidak terpisahkan dari sesuatu yang baharu, maka pasti ia juga baharu). Oleh karena itu mereka menafikan "qiyaamul 'af'aal bidzaatillaah" yg berarti juga menganggap bahwa Allah itu tidak melakukan perbuatan-Nya secara langsung.
Sehingga mereka pun menganggap bahwa Sifat Wujuudiyyah yakni shifatul ma'aany-nya Allah itu "qaimah bidz-dzat"nya (disandangnya oleh dzat) itu "za’idah ‘ala'dz-dzat" (ditambahkan/ditempelkan) atau "wara’ al-dzat" (berada diluar Dzat). Disinilah absurditasnya argumentasi mereka.
Sebab, tema "zai'dah 'aladz-dzat" maupun "wara' al-dzat" itu hanya pas kalau Sifat itu dimiliki oleh Makhluk (yang drajatnya adalah baharu). Ini pula kontradiksi dengan pernyataan awal Asy'ariyyah sendiri yang menyatakan "sifat itu bukan dzat, bukan pula selain dzat (yakni sifat itu bagian dari Dzat)".
Menyatakan Sifat itu "zai'dah 'aladz-dzat" maupun "wara' al-dzat" berarti juga menyatakan bahwa Dzat Allah itu tidak terpisahkan dari hal-hal yang baharu padahal mereka sendiri menyatakan "kullu maa laa yakhluu mina'l hawaadits, fahuwa haadits” (bahwa semua yang tidak terpisahkan dari sesuatu yang baharu, maka pasti ia juga baharu).
Itulah kenapa Kullabiyyah & Asy'ariyyah terjebak pada pertanyaan No.5 & 7, mereka juga sebetulnya terjebak pada pertanyaan No. 9 dan kesalahan dalam menjawab pertanyaan No.2 & 4.
Demikian histori singkatnya, mudah-mudahan bermanfaat.
Hadanallaah wa iyaakum ajma'in.
sederajat, harus dikaji dulu posisi ontologisnya, baru kemudian dikaji nilai kebenarannya dengan penempatan posisi yang sesuai.
Nah, dalam kasus Sifat dan Dzat ini:
A. Dzat Allah : Entitas di Jenjang Real yang Independen
B. Sifatnya Allah : Atribut di Jenjang Real yang Dependen
C. Selain Allah : Entitas di Jenjang Real yang Independen
D. Sifatnya Selain Allah : Atribut di Jenjang Real yang Dependen
Dalam PERBANDINGAN (PERSAMAAN/PERTIDAKSAMAAN) LOGIKA, antara A,B,C, dan D semuanya relevan untuk dibandingkan, kecuali antara A dengan B atau antara C dengan D. Sebab B tidak terpisahkan dari A dan D adalah juga sesuatu yang tidak terpisahkan dari C.
Dalam bentuk literalnya, yang RELEVAN adalah:
1- Apakah Allah itu sama dengan Makhluk?
2- Apakah Sifat Allah itu sama dengan sifat Makhluk?
3- Apakah Makhluk itu sama dengan Allah?
4- Apakah sifat Makhluk itu sama dengan sifat Allah?
Yang TIDAK RELEVAN:
5- Apakah [dzat] Allah itu sama dengan sifat Allah?
6- Apakah [dzat] makhluk itu sama dengan sifat Makhluk?
7- Apakah sifat Allah itu sama dengan [dzat] Allah?
8- Apakah sifat makhluk itu sama dengan [dzat] Makhluk?
9- Apakah sifat Allah itu sama dengan [dzat] Makhluk?
10- Apakah sifat makhluk itu sama dengan [dzat] Allah?
Baik Jahmiyyah maupun Muktazilah, mereka sama-sama terjebak dipertanyaan nomor 5 dan 7. Mereka menganggap, bahwa kalau Tuhan itu punya sifat, berarti sifat itu adalah "tuhan lain", sebab sifat Tuhan itu bukan Tuhan sekaligus bukan selain Tuhan. Padahal "sifat Tuhan" adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari Tuhan. Sesuatu yang tidak terpisahkan dari Tuhan, tentu tidak relevan sama sekali untuk disebut sebagai "tuhan lain". Sifat Tuhan adalah atribut/predikat Tuhan, bukan sesuatu yang lain. Di sisi lain, menganggap Tuhan tidak punya sifat/atribut, sama saja menganggap Tuhan itu tidak ada (sebab secara ontologis, yang tidak punya atribut sama sekali itu hanyalah "nothing").
Mereka juga kemudian menganggap bahwa Al-Quran itu makhluk. Bagi Jahmiyyah, Al-Quran itu "makhluk" karena bukan merupakan "firman Tuhan" (Jahmiyyah tidak menganggap tuhan punya firman). Sedangkan bagi Muktazilah, Al-Quran itu "makhluk", karena menurut mereka kalau
bukan makhluk berarti Al-Quran itu "tuhan lain". Padahal Al-Quran adalah firman Tuhan. Dan secara ontologis, yang namanya "firman Tuhan" itu adalah atribut/predikat yang tidak terpisahkan dari (dependen pada) Tuhan. Sesuatu yang merupakan predikat Tuhan, tentu saja bukan merupakan makhluk.
Tambahan dari kami;
Sedangkan Kulabiyyah dan Asy'ariyyah, mereka terjebak pada pendefinisian Sifat secara Ontologis. Karena asumsi mereka yg menyatakan bahwa sesuatu yang mempunyai Sifat itu adalah “tersusun”, sedang disisi lain mereka menerima postulat sesuatu yang maujud itu “nyata” syaratnya mempunyai Sifat / Atribut untuk dikenali maka mereka akhirnya mengajukan argumen bahwa Sifat yang dimiliki Dzat Allah itu “Qaimah bidz-Dzat” (menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipandang secara terpisah-pisah dari Dzat) karena bagi mereka, memandang (mendefinisikan) sifat tersebut secara terpisah maka akan berakibat pada hilangnya kemanunggalan wujud Dzat itu sendiri. Nah, disinilah mereka sebenarnya terpengaruh oleh Jahmiyyah dan Muktazilah yang terjebak pada pertanyaan nomer 5 dan 7 itu.
KARENA Kullabiyah dan Asy'ariyyah berkomitmen untuk TETAP mengakui adanya Sifat Allah tsbt (tidak seperti Jahmiyyah & Muktazillah) SEMENTARA mereka sendiri terjebak terpengaruh oleh Jahmiyyah & Muktazillah yang tersesat karena kesalahan pertanyaan No. 5 & 7 diatas, akhirnya untuk memenuhi pertanyaan No. 5 & 7 itu, dalam memandang Sifat Tuhan seperti Sifat Dzatiyyah & Fi'liyyah (ikhtiyariyah: berbuat, mencipta, berkalam) Kullabiyyah & As'ariyyah mengajukan konsep "ta'alluq tanjiizy hadiits", bahwa perbuatan seperti mencipta, berkalam, dst (yg berkaitan dengan hal-hal yang baharu itu) adalah merupakan manifestasi aktual yang baharu dari Iradah (kehendak) yang azali, abadi (yg berarti juga menganggap perbuatan itu adalah ciptaan)
Alasan Kullabiyyah & Asy'ariyyah melontarkan konsep tsbt, karena mereka mengasumsikan "kullu maa laa yakhluu mina'l hawaadits, fahuwa haadits” (bahwa semua yang tidak terpisahkan dari sesuatu yang baharu, maka pasti ia juga baharu). Oleh karena itu mereka menafikan "qiyaamul 'af'aal bidzaatillaah" yg berarti juga menganggap bahwa Allah itu tidak melakukan perbuatan-Nya secara langsung.
Sehingga mereka pun menganggap bahwa Sifat Wujuudiyyah yakni shifatul ma'aany-nya Allah itu "qaimah bidz-dzat"nya (disandangnya oleh dzat) itu "za’idah ‘ala'dz-dzat" (ditambahkan/ditempelkan) atau "wara’ al-dzat" (berada diluar Dzat). Disinilah absurditasnya argumentasi mereka.
Sebab, tema "zai'dah 'aladz-dzat" maupun "wara' al-dzat" itu hanya pas kalau Sifat itu dimiliki oleh Makhluk (yang drajatnya adalah baharu). Ini pula kontradiksi dengan pernyataan awal Asy'ariyyah sendiri yang menyatakan "sifat itu bukan dzat, bukan pula selain dzat (yakni sifat itu bagian dari Dzat)".
Menyatakan Sifat itu "zai'dah 'aladz-dzat" maupun "wara' al-dzat" berarti juga menyatakan bahwa Dzat Allah itu tidak terpisahkan dari hal-hal yang baharu padahal mereka sendiri menyatakan "kullu maa laa yakhluu mina'l hawaadits, fahuwa haadits” (bahwa semua yang tidak terpisahkan dari sesuatu yang baharu, maka pasti ia juga baharu).
Itulah kenapa Kullabiyyah & Asy'ariyyah terjebak pada pertanyaan No.5 & 7, mereka juga sebetulnya terjebak pada pertanyaan No. 9 dan kesalahan dalam menjawab pertanyaan No.2 & 4.
Demikian histori singkatnya, mudah-mudahan bermanfaat.
Hadanallaah wa iyaakum ajma'in.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus